Thursday, September 13, 2012

Teroris dan Densus 88





Terorisme sebenarnya merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah yang kesannya mengerikan itu. 







Tidak ada satu pun definisi terorisme yang diterima secara universal. Yang jelas, dan ini pastinya disepakati, terorisme merupakan sebuah aksi atau tindak kekerasan (violence) yang merusak (destructive).

Secara etimologis, terorisme (terrorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford Paperback Dictionary[1], terror artinya extreme fear (rasa takut yang luar biasa), a terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik).

Terorisme memiliki karakter khas, yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik. Metodanya adalah pengeboman, pembajakan, pembunuhan, penyanderaan, atau singkatnya: “aksi kekerasan bersenjata”.

Dr. Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Sihbudi[2], mendefinisikan terorisme sebagai :

(a) Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material;
(b) Sebuah pemaksaan tingkah laku lain;
(c) Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas;
(d) Tindakan kriminal bertujuan politis;
(e) Kekerasan bermotifkan politis; dan
(f) Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.

Jika definisi tersebut dipakai, menurut Riza, maka perang atau usaha memproduksi senjata pemusnah umat manusia dapat dikategorikan sebagai terorisme. Para pemimpin negara industri maju (Barat) dapat dijuluki "biang teroris" karena memproduksi senjata pemusnah massal seperti peluru kendali.

Sementara Encyclopedia Americana[3] menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”.

Secara konvensional, “terorisme” ditujukan pada aksi-aksi kaum revolusioner atau kaum nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan "teror" merujuk pada aksi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada prakteknya, pembedaan antara "terorisme" dan "teror" tidak selalu jelas.

Istilah terorisme, menurut Noam Chomsky[4], mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh individu atau kelompok-kelompok.

Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelompok-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, misalnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika tentara Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah aksi teror, melainkan aksi "pembalasan".

Demikian pula ketika pesawat-pesawat tempur AU AS mengebom Irak, itu bukan terorisme, tetapi "pembalasan"
 (retaliation).
Atau ketika Israel berkali-kali menindas dan membantai rakyat Palestina, mengebom basis pejuang Hizbullah di Libanon, atau markas HAMAS dan Jihad Islam, bukanlah terorisme tetapi pembalasan[5], serangan untuk mendahului sebelum diserang (preemptive strike), atau tindakan hukuman (punitive action). Namun ketika PLO --atau salah satu faksinya-- melakukan aksi kekerasan dipandang AS dan Israel sebagai aksi "terorisme"
, bahkan PLO pada awalnya dinilai sebagai "organisasi teroris" dan pemimpinnya, Yasser Arafat, sebagai "biang teroris".

Contoh lain, ketika pasukan India menembaki para pejuang Muslim Kashmir atau membantai penduduk Kashmir, bukanlah terorisme tetapi "mengatasi gerakan separatis". Demikian halnya ketika pasukan pemerintah Filipina menggempur para pejuang Muslim Moro di Filipina Selatan. Namun, adalah terorisme ketika para pejuang Kashmir menyerang tentara India dan pejuang Muslim Moro menyerang tentara Filipina.

Jadi, terorisme dapat dipandang sebagai alat perjuangan kemerdekaan atau alat merusak kemanusiaan dengan kezaliman. Yang jelas, sebuah aksi yang kemudian disebut "teror" dilontarkan satu pihak manakala kepentingannya dihancurkan.





 Densus 88




Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.



 


Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti teror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45 - 75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktifitas teror di daerah.Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara R.I.
Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopasus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror), Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU, dan satuan anti-teror BIN.

Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004. Detasemen 88 yang awalnya beranggotakan 75 orang ini dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Tito Karnavian yang pernah mendapat pelatihan di beberapa negara.
Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28). Undang-undang tersebut populer di dunia sebagai "Anti Teror Act".
Angka 88 berasal dari kata ATA (Anti Terror Act), yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini kedengaran seperti Eighty Eight (88). Jadi arti angka 88 bukan seperti yang selama ini beredar bahwa 88 adalah representasi dari jumlah korban bom bali terbanyak (88 orang dari Australia), juga bukan pula representasi dari borgol.[rujukan?]
Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri AS dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service.  Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan khusus AS. Informasi yang bersumber dari FEER pada tahun 2003 ini dibantah oleh Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum) Divisi Humas Polri, Kombes Zainuri Lubis, dan Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar. Sekalipun demikian, terdapat bantuan signifikan dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia dalam pembentukan dan operasional Detasemen Khusus 88. Pasca pembentukan, Densus 88 dilakukan pula kerjasama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan Jerman. Hal ini dilakukan sejalan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 43.



Simak juga : Tujuh Pasukan Khusus  yang dimiliki Indonesia.

No comments:

Post a Comment