Tuesday, August 14, 2012

Ajaran Agama Sebagai Pengimbang Berprilaku Politik



Tajuk rencana

Dalam sistim ketatanegaraan modern, persoalan agama dengan pemerintahan telah dipisahkan. Urusan keagamaan ditangani sesuai bidang lembaga sendiri dan urusan pemerintahanpun demikian. Ada persoalan berbeda antara pemerintahan dengan agama. Mungkin cikal bakalnya terletak pada rasionalisasi sikap duniawi sehingga menggabungkannya dengan persoalan non duniawi akan lebih sulit. Batas-batas kesejahtraan umat manusia dalam kontek duniawi mungkin dipertimbangkan lebih fleksibel dicapai kalau kedua hal itu dipisahkan. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilas sukuler dalam pemerintahan negara.
Negara-negara yang tidak mencampurkan persoalan agama dengan sistim ketatanegaraan disebut dengan negara sekuler. Sebagian besar  negara menganut sistim ini, misalnya : Turki, Mesir, Indonesia, dan hampir semua negara barat. Banyak negara di Teluk Parsi, Timur Tengah dan Afrika menggabungkan idiologi keagamaan mereka menjadi dasar negara. Tentu saja hal ini kita serahkan kepada kepercayaan dan keinginan rakyat yang bersangkutan untuk memilih. Sejarah, budaya bahkan adat di negara-negara itulah yang menentukan praktik bagaimana yang seharusnya dipakai. Akan tetapi, adanya perubahan-perubahan baik menuju maupun keluar dari sistim yang telah ditetapkan sebelumnya, amat berbahaya bagi kehidupan sosial bila dilakukan oleh suatu bangsa. Dalam sejarah dan ceritra Hindu misalnya, hubungan antara pemerintahan dengan gama amat dekat seperti yang kita saksikan dalam epos Mahabharata atau Ramayana. Kental bagaimana nuansa keagamaan ikut terlibat dalam sistim ketatatnegaraan.
Akan tetapi, hemat kita agama jelas amat diperlukan sebagai pebimbing dalam menjalankan tatanan kenegaraan, ini artinya setiap pejabat negara mampu memahami, dan memberi inspirasi  dan kemudian menerapkan ajaran-ajaran agama dalam melaksanakan pemerintahan. Satu contoh dalam dunia Internasional, telah dilaksanakan oleh Mahatma Gandhi. Tokoh politik dan kemanusiaan dunia ini, benar-benar telah menerapkan prinsip keagamaan ke dalam politik tanpa harus menjadikan agamanya sekuler. Gandhi memakai prinsip Hindu, Ahimsa, dalam memperjuangkan kemerdekaan India dari Inggris. Dan kini India tidak menjadi negara agama.
Kalau kita melihat perubahan sosial yang kini terjadi di masyarakat, penerapan praktik sperti ini sudah perlu dilakukan tanpa perlu dipertanyakan lagi. Persaingan dalam kekuasan politik kian sengit dan sulit dikendalikan. Kepentingan antara pribadi, kelompok, bahkan etnik sudah amat sulit dipisahkan sehingga menimbulkan berbagai konflik kepentingan. Demikian pula dengan berbagai bentuk penyimpangan. Fenomena demikian nampaknya sudah nyata terjadi pada sistim politik kita di Indonesia.
Bentrokan terbuka antara simpatisan partai politik, penggelembungan suara, penipuan bantuan politik bahkan hingga korupsi merupakan indikator-indikator bahwa pelaku politik kita sudah amat jauh dari pemahaman agama. Lebih tragis lagi kita lihat fenomena ini terjadi mulai tingkat pusat hingga tingkat yang paling bawah. Kita khawatir jika itu didiamkan, justru akan menjadi contoh buruk bagi masyarakat akar rumput kita yang mencontoh prilaku negatif itu.
Kalau memang hukum membuat para politisi ini tidak jera, kita tekankan bahwa ajaran agama menjadi amat mendasar bagi mereka sebagai modal dasar saat terjun ke dunia politik. Sesungguhnya para politisi harus malu apabila disebut-sebut bermuka tebal dengan hukum. Namun demikinlah persoalannya di negara kita. Tidak bisa lain, ajaran-ajaran agama harus menjadi dasar penggerak mereka dalam berprilaku politik.-

Sumber >> Bali Post, 13-08-2012  


No comments:

Post a Comment