Yang namanya keyakinan manusia dari
sejak dahulu ada dan bertahan hingga NKRI memasuki zaman batu akik salah
satunya adalah keyakinan penduduk tanah Bali (baca Hindu Bali) akan adanya
suatu kekuatan yang mampu memberikan bantuan/jalan keluar akan masalah yang
dihadapi. Kita semua tahu, bahwasanya pulau Bali itu warganya adalah dominan
penganut Hindu nan taat dari sejak zaman dahulu, sebut saja di era kerajaan.
Kita ambil saja contoh, yang namanya tirtha (air suci) juga telah ada/dikenal
dari zaman kerajaan hingga kini, itu tiada lain penyebabnya karena para
penguasa Bali dahulu juga penganut Hindu. Yang namanya masalah hidup tentu
dialami oleh manusia dari awal manusia ada hingga sampai akhir zaman, walaupun
penguasa/raja sekalipun tidakkan luput dari masalah kehidupan. Demikian juga
halnya dengan raja tanah Bali, ayahndanya raja Sri Masula-Sri Masuli dahulu
(penguasa tanah Bali di era Bali Kuno), beliau hampir berkecil hati karena lama
tidak memiliki keturunan.
Tuhan yang Maha Pengasih rupanya
berhendak lain, maka munculnya ide/niat di hati sang raja untuk memohon
kemurahan Yang Diatas Sana. Hindu meyakini gunung itu tempat bersthananya para
Dewa, maka sang raja penganut Hindu itu memohon/berdo’a kehadapan para Dewa di Gunung Toh Langkir
(Gunung Agung), agar sang permaisuri segera dapat melahirkan sebagai penerus
keturunan sang raja. Memang Beliau Maha
Pemurah apa lagi terhadap pemujaNya yang taat, maka petunjukpun diperoleh.
Dalam petunjuk, agar sang raja bisa mendapatkan tirtha/air suci Selaka guna
diberikan kepada sang permaisuri, agar keinginan mendapatkan keturunan
terkabul. Perintah raja wajib dilaksanakan walau nyawa taruhannya, maka atas
perintah raja berangkatlah seorang brahmana kepercayaan melintasi
seluas-luasnya tanah Bali demi yang namanya tirtha Selaka. Tidak mampu diceritrakan suka-duka sang
brahmana selama pengembaraan memenuhi perintah Sang raja, maka tibalah sang
brahmana pada suatu tempat, merupakan sebuah goa yang kini terkenal dengan nama Goa Kereban
Langit. Saat sang brahmana tiba di goa itu, wilayah sekitarnya bernama
Bantiran/Desa Bantiran (era pemerintahan raja Sri Udayana). Ntah sejak kapan goa Kereban Langit, juga
merupakan sebuah pura tempat sucinya penganut Hindu dengan nama Pura Kereban
Langit yang pada awalnya diempon oleh
lima kepala keluarga. Lantaran perubahanlah yang kekal, maka diyakini sekitar
tahun 1076 Masehi, desa Bantiran berubah menjadi desa Sading yang terkenal
dengan prasasti sadingnya yang
mencantumkan nama sebuah goa yakni goa Kereban Langit.
Konon goa Kereban Langit itu dijaga
oleh seorang pertapa, kala sang brahmana tiba di goa itu lalu menceritrakan
tujuannya demi memenuhi titah sang raja, sang pertapa kemudian menunjukkan
sebuah mata air yang terdapat di dalam goa, pucuk dicinta ulampun tiba atas
kehendakNya jua rupanya air di tengah goa itulah tirtha Selaka. Singkat ceritra, air suci itupun dihaturkan
kepada sang permaisuri. Memang Maha
Besar Hyang Kuasa, sang permaisuripun akhirnya melahirkan. Terlahirlah sepasang
anak kembar si penerus keturunan, kembar buncing/ laki dan perempuan. Diberikan
nama Sri Masula – Sri Masuli, setelah besar dinikahkan menjadi raja suami-istri
penguasa jagat Bali, di zaman Bali kuno. Tentang Goa/Pura Kereban Langit,
hingga saat ini banyak para pasutri yang belum memiliki keturunan, datang ke
sana memhohon kemurahan hati Beliau agar dapat diberikan penerus
keturunan/generasi. Tepatnya goa/pura Kereban Langit ada di Desa Sading, Kecamatan
Mengwi, Kabupaten Badung,Bali.
sumber info : sebuah status FB.
sumber info : sebuah status FB.
No comments:
Post a Comment