Friday, April 26, 2013

Budayanya Bali “ Lontar”



Sesungguhnya lontar berasal dari bahasa Jawa “rontal”,  barang ini terbuat dari daun siwalan atau tal (borassus flabellifer atau palmyra). Proses pembuatan lontar dengan daun ental  lumrah di Bali, dengan lebih dahulu mengeringkan daun ental tersebut.


Di pulau Bali yang namanya  daun lontar sebagai alat tulis masih tetap ada hingga kini. Prosesnya pembuatannya, pertama-tama daun pohon siwalan dipetik, pemetikan biasanya dilakukan pada bulan Maret/April atau September/Oktober  karena pada bulan-bulan itu daun-daun siwalan sedang tua. Setelah dipotong semuanya dijemur, dengan demikian daun yang semula hijau akan berubah menjadi kekuningan.  Langkah berikutnya semua daun yang telah berwarna kuning direndam dalam air yang mengalir selama beberapa hari, tahap berikutnya lalu digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa, lalu dijemur kembali, semua daun dipotong serta lidi-lidinya dibuang. Setelah kering daun lontar itu direbus,  umumnya memakai kuali besar dicampur beberapa ramuan. Tujuan membersihkannya, dan untuk melestarikan struktur daun agar tetap bagus. Durebus selama 8 jam, semua daun diangkat dan kembali dijemur di atas tanah, kemudian sore harinya semua daun lontar diambil, sedangkan tanah di bawah dedaunan dibasahi dengan air, lalu semua daun lontar ditaruh kembali agar lembab dan menjadi lurus. Esok harinya diambil, dan dibersihkan dengan  lap. Proses berikutnya semua daun lontar ditumpuk, dan dipres pada sebuah alat yang bernama pamlagbagan. Semua daun itu dipres selama kurang lebih 6 bulan, namun rutin setiap 2 minggu diangkat dan dibersihkan. Setelah itu daun-daun dipotong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki, diberi 3 lubang  pada ujung kiri, tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung kiri mesti lebih pendek dari ke ujung kanan, hal ini sebagai penanda  kala penulisan nanti. Lontar telah siap ditulisi, dalam bahasa Bali disebut pepesan, dan selembar lontar disebut sebagai lempir.


Untuk dapat menulisi daun lontar dengan bagus mesti memakai alat/pisau khusus. Pisau yang dipakai menulis pada daun lontar bernama pangropak atau pengutik. Dalam bahasa Sunda disebut peso pangot. Sesungguhnya  sang penulis mengukir aksara pada lempir-lempir lontar, setelah selesai ditulisi  sebuah lempir umumnya pada kedua sisi, maka lempir harus dihitamkan, memakai kemiri yang dibakar.  Tulisan akan terlihat tajam karena jelaga kemiri. Lalu setiap lempir dibersihkan dengan lap, diolesi dengan minyak sereh agar bersih dan tidak termakan berbagai serangga (agar awet). Semua tumpukan lempir-lempir disatukan (sejenis dijilid ) dengan sebuah tali melalui lubang tengah. Diapit dengan sepasang pengapit, di Bali disebut takepan. Namun sesuai kondisi kadang kala lempir-lempir disimpan pada sebuah peti kecil yang disebut “kropak” ( di Jawa kropak artinya naskah lontar ).—

Sumber : bali post, 24/4/2013.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini