Dalam upaya memantapkan pandangan kita terhadap ajaran Hindu Dharma terlebih dahulu kami ingin menekankan kembali nama dan sumber ajaran Hindu atau Hindu Dharma yang kita kenal sebagai satu agama tertua yang masih dianut oleh umat manusia. Hal ini kami pandang sangat perlu mengingat sampai sekarang masih ada pandangan dan buku-buku yang mendiskreditkan agama Hindu dan menganggap agama Hindu sebagai agama yang tidak bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan Prof. Dr. Mukti Ali, sebagai tokoh ahli perbandingan agama di Indonesia pada Kongres Agama-Agama di Indonesia, tanggal 11 Oktober 1993 di Yogyakarta menyatakan bahwa agama Hindu tidak mengenal missi karena dibatasi oleh sistem kasta. Bilama Hindu tidak mengenal missi, bagaimana orang Indonesia di masa yang lalu memeluk agama Hindu?
Siapakah yang menyebarkan agama Hindu ke Indonesia? Selanjutnya tentang
kasta adalah bentuk penyimpanan dan interpretasi yang keliru dari pengertian
Varna sebagai tersebut dalam kitab suci Veda. Yang dimaksud dengan Varna adalah
pilihan profesi sesuai dengan Guóa (bakat pembawaan orang) dan Karma
(kerja yang dia lakoni) oleh setiap orang.
Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa kata
Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian
kata agama dalam bahasa Indonesia. Dalam kontek pembicaraan kita saat ini
pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu
Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang
Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di
lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan
kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi
dan kemudian orang-orang Barat yang datang kemudian menyebutnya dengan
India. Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Shindu sampai
yang kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama
Bhàratavarsa yang disebut juga Jambhudvìpa.
Kata Sanàtana Dharma berarti agama yang bersifat
abadi dan akan selalu dipedomani oleh umat manusia
sepanjang Nama asli dari agama ini masa, karena ajaran
yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan
rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun
waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran agama yang bersumber pada
kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Mahadevan, 1984: 13).
Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama Hindu.
Para åûi atau mahàrûi yakni orang-orang suci dan bijaksana di India jaman
dahulu telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka
(Aparokûa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini
sifatnya langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman
para mahàrûi di jaman dahulu itu sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya).
Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para mahàrûi dan
orang-orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme,
oleh karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda,
1988: 4)
Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh
pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda,
1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh mahàrûi Yàûka
(Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi umat
Hindu kebenaran Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan
Yang Maha Esa. Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan tertinggi
Úaýkara-math yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya menegaskan :
Dengan pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam
atau non human being) maka para maharsi penerima wahyu disebut Mantradraûþaá
(mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya dari manusia. Bila Veda merupakan
karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta (karangan/buatan
manusia) dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima wahyu dari Tuhan
Yang Maha Esa (Apauruûeyam) melalui kemekaran intuisi (kedalaman dan pengalaman
rohani)nya, merealisasikan kebenaran Veda, bukan dalam pengertian atau
mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang mengatakan bahwa Columbus
menemukan Amerika ? Bukankah Amerika telah ada ribuan tahun sebelum Columbus
lahir? Einstein, Newton atau Thomas Edison dan para penemu lainnya menemukan
hukum-hukum alam yang memang telah ada ketika alam semesta diciptakan.
Demikian pula para maharsi diakui sebagai penemu atau penerima wahyu
tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada sebelumnya dan karena penemuannya itu
mereka dikenal sebagai para maharsi agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan
senantiasa ada, karena bersifat Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi
berbagai kurun waktu. Oleh karena kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian
pribadi mereka, para maharsi mampu menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima
wahyu Tuhan Yang Maha Esa dihubungkan dengan Sùkta (himpunan mantra), Devatà
(Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair
dari mantra Veda). Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan
penghormatan kepada para Devatà dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika
mulai membaca atau merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).
Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari
agama-agama yang lain, melainkan terdiri dari beberapa kitab yang terdiri dari
4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità) yang dikenal dengan Catur Veda
(Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra ini
memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka dan Upaniûad) yang seluruhnya itu
diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta
disebut Úruti. Kata Úruti berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang didengar oleh
para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui kemampuan mengingat dari
para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan kepada para murid dan pengikutnya,
lama kemudian setelah tulisan (huruf) dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda
itu dituliskan kembali. Seorang maharsi Agung, yakni Vyàsa yang disebut
Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya menghimpun dan mengkompilasikan
mantra-mantra Veda yang terpencar pada berbagai Úàkha, Aúsrama, Gurukula atau
Saýpradaya.
Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti)
yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki
sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu adalah
Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum Hindu), Úìla
(yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai kitab Itihàsa
(sejarah) dan Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang hidup pada masa yang
lalu yang juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Àtmanastuûþi,
yakni kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para
maharsi dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi
umat Hindu dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis
inilah yang berhak mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak
ditemukan sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber ajaran Hindu
yang kedudukannya lebih tinggi.
Karakteristik Hindu Dharma
Hindu Dharma memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional
manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak
semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari
pemikiran, perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang
paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu
agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan
berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang
mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk
pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu
doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun
dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada
setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh
karena itu, segala macam keyakinan/Úraddhà, bermacam-macam bentuk pemujaan atau
sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh
tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan
serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang
lainnya.
Tentang kemerdekaan memberikan tafsiran terhadap Hindu Dharma di dalam
Mahabharata dapat dijumpai sebuah pernyataan : "Bukanlah seorang maharsi
(muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahami"
(Radhakrishnan, I, 1989: 27). Inilah salah satu ciri atau karakteristik dari
Hindu Dharma. Karakteristik atau ciri khas lainnya yang merupakan barikade
untuk mencegah berbagai pandangan yang memungkinkan tidak menimbulkan
pertentangan di dalam Hindu Dharma adalah Àdikara dan Iûþa atau Iûþadevatà
(Morgan, 1987: 5). Àdikara berarti kebebasaan untuk memilih disiplin atau cara
tertentu yang sesuai dengan kemampuan dan kesenangannya, sedangkan Iûþa atau
Iûþadevatà adalah kebebasan untuk memilih bentuk Tuhan Yang Maha Esa yang
dijelaskan daalam kitab suci dan susatra Hindu, yang ingin dipuja sesuai dengan
kemantapan hati.
Svami Sivananda, seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaya (kini
Malaysia) kemudian meninggalkan profesinya itu menjadi seorang Yogi besar dan
rohaniawan agung pendiri Divine Life Society menyatakan : Hindu Dharma
sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gaambaran indah tentang
Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar
tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma; tetapi
perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan
tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah
wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam
Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai
yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka (1984: 34).
Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan bahwa Hindu Dharma
mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua
keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan Dr.K.M. Sen mengatakan
bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan kesulitan lain. Agama Hindu
menyerupai sebatang pohon yang tuumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan
yang dibangun oleh arsitek besar padaa saat tertentu (Natih: 1994: 116).
Mewujudkan Jagadhita (kesejatraan lahiriah) dan Mokûa (kebahagian yang
sejati) adalah tujuan Hindu Dharma dan juga sekaligus pula tujuan hidup
manusia. Motto Sri Ramakrishna Mission, sebuah organisasi sosial keagamaan yang
didirikan oleh Swami Vivekananda untuk menghormati gurunya, yang bernama Sri
Ramakrishna di atas tersebut oleh Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja (1970 : 5)
dijadikan sebagai rumusan tujuan agama Hindu dalam formulasi Mokûàrthaý
Jagadhitàyaca iti Dharmaá. Formulasi ini secara tidak langsung mendapat
pengukuhan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, karena formulasi tersebut
pertama kali kita jumpai dalam buku Upadesa yang diterbitkan dan mendapat
rekomendasi dari majelis ini. Kemudian dalam setiap buku yang terbit setelah
buku Upadesa ini, selalu merumuskan tujuan agama Hindu seperti tersebut dan
rumusan ini sangat membantu umat Hindu dalam memahami tujuan agamanya.
Awal Pertumbuhan Hindu Dharma
Adalah sangat sulit untuk menyatakan secara tegas awal pertama dan tempat
dimulainya pertumbuhan agama Hindu. Seperti telah disebutkan pada bagian awal
dari tulisan ini, nama agama Hindu atau Hindu Dharma ini sedemikian rupa
berkembang dan bahkan diberikan oleh orang-orang Barat yang datang ke India.
Hindu Dharma dewasa ini mengacu berbagai sumber baik tradisi maupun
utamanya adalah kitab suci Veda sebagai sumber. Secara sederhana unsur atau
sumber dari Hindu Dharma dewasa ini meliputi:
1. Tradisi penduduk asli India, yang berasal dari jaman batu sejak 500.000 tahun yang lalu yang hingga kini masih diyakini dan dipraktekkan oleh beberapa penduduk asli atau àdivàsi.
2. Pengaruh dari peradaban lembah sungai Sindhu, yang dapat ditemukan
kembali sekitar pertengahan abad yang silam yang membentang dari India Barat
Laut ke India Utara.
3. Pengaruh dari budaya Dravida kuno, yang nampak pada budaya Tamil dewasa
ini yang juga memperlihatkan pengaruh peradaban lembah sungai Sindhu.
4. Ajaran dan kebudayaan Veda yang dibawa oleh bangsa penakluk, yakni suku
bangsa Arya yang kemudian menjadi pemukim India yang kemudian pengaruhnya
sangat luas dan menyeluruh, hampir di seluruh bagian India (Klostermaier, 1990:
31).
Hingga saat ini masing terdapat pendapat yang kontroversial yang menyatakan
bangsa bangsa Arya sebagai bangsa Indo-German yang berasal dari Eropa yang
menaklukkan India, karena sebagian sejarawan India menyatakan bahwa bangsa ini
berasal dari India Utara atau dari bagian Tengah Himalaya. Pemberian nama
Sanàtana Dharma adalah sangat umum terhadap agama Hindu di India menunjukkan
penekanan yang berbeda terhadap makna istilah ini. Nama Sanatàna Dharma ini
pada abad ke-9 Masehi lebih dipopulerkan lagi oleh Úrì Úaýkaràcarya dengan
mendirikan perguruan keagamaan yang sangat berpengaruh untuk menghadapi
perkembangan Buddhisme dan Jainisme dengan mengembangkan dan menyebar-luaskan
duta dharmanya ke seluruh penjuru India dan pada tahun 1875 Swami Dayananda
Sarasvati mendirikan Àrya Samaj, yang mempopulerkan bahwa Sanàtani Pauràóika
(Sanàtana Dharma yang bersifat Pauràóika) adalah tidak murni dan menyatakan
bahwa Àrya Samaj adalah Sanàtana Dharma yang sejati berdasarkan Veda. Namun
dalam perkembangan terakhir pengertian Sanàtana Dharma meliputi pula Jaina,
Buddha, Sikh dan semua Sampradaya atau sekta dalam Hinduisme.
Dewasa ini sebagian umat Hindu lebih menekankan pengertian terhadap agama
mereka dalam bentuk Sampradaya seperti Úaiva (pemuja Úiva), Vaiûóava (pemujja
Viûóu), Úàkta (pemuja sakti) atau nama lainnya sesuai dengan pengelompokan yang
mereka ikuti pada umumnya di bawah bimbingan seorang Yogi besar. Selanjutnya
pengertian yang bersifat lebih spesifik terhadap Hindu Dharma dikemukakan oleh
pimpinan Viúva Hindu Parisad, Organisasi Hindu Sedunia yang didirikan bulan
Januari 1964 yang melaksanakan sebuah pertemuan yang amat bersejarah di kota
Prayàga (Allahabad), pada saat itu bertepatan dengan upacara besar mandi suci
yang disebut Kumbha Mela. Pertemuan itu mencoba merumuskan pengertian tentang
Hindu Dharma yang didasarkan atas keyakinan, upacara yang umum serta
menerbitkan sebuah buku pedoman, dalam rangka menyatukan pandangan dalam
rangka kesatuan bagi penganut Hindu.
Memang sangat sulit untuk menentukan sejak kapan sesungguhnya dimulainya
perkembangan agama itu. Bila kita mendasarkan pada dokumen tertulis maka tidak
ada yang lain kecuali kembali kepada kitab suci Veda, khususnya kitab suci
Ågveda dan tentang Ågveda ini Maurice Winternitz dalam bukunya A History of
India Literature, Vol.I (1927) menyatakan bahwa: Veda (Ågveda) adalalah pustaka
monument tertua Indo-Eropa. selanjutnya ia menyatakan: Bilamana kita ingin
mengerti tentang kebudayaan Indo-Eropa tertua, kita mesti pergi ke India yakni
tempat susastra tertua orang-orang Indo-Eropa disimpan. Apapun pandangan kita,
kita boleh menerima berbegai perosalan tentang kekunaan, tetapi sesungguhnya secara
ringkas dapat kami nyatakan bahwa Ågveda adalah susastra monumental
tertua Indo-Eropa yang kita miliki.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bloomfield dalam bukunya The
Religion of Veda, yang menyatakan bahwa Ågveda bukan saja dokumen tertua umat
manusia, tetapi juga dokumentasi di Timur yang paling tua. Susastra ini lebih
tua dari Yunani maupun Israel dan memperlihatkan peradaban yang tinggi di
antara mereka, yang dapat ditemukan dalam mantra-mantra Ågveda (Radhakrishnan,
1990: 29). Namun di samping dokumen tertulis ini kita tidak dapat melepaskan
kita terhadap peninggalan kepurbakalaan India, khususnya peninggalan
prasejarah berupa lukisan pada dinding goa di Bhimbetka (sekitar 30.000
Sebelum Masehi) yang baru ditemukan pada tahun 1967 dan kita tidak
mengetahui apakah atau bagaimana hubungan orang-orang yang menciptakan
peninggalan tersebut dengan penduduk India dewasa ini. Keagamaan penduduk asli
(àdivàsi) menunjukkan pengaruh kuat dari agama Hindu, dan kurang lebih ajaran
Hindu yang bersifat universal seperti kelahiran kembali dan perpindahan jiwa
rupanya berasal dari di antara penduduk asli itu. Pengetahuan kita tentang
peradaban lembah sungai Sindhu adalah fragmentaris, peninggalan berupa
huruf/tulisan belum dapat dibaca, uraian tentang budaya non material dari
orang-orang lembah sungai Sindhu di dasarkan pada sedikit perkiraan
belaka. Beberapa peninggalan berupa stempel dan terakota (dari tanah
liat) yang berbentuk wajah manusia dihubungkan dengan pemujaan kepada Úiva dan
Úakti. Dari kerangka yang ditemukan, menyatakan bahwa ras mereka bercampu dan
umumnya kota-kota ha ncur karena kekuatan yang tiba-tiba. Untuk sementara waktu
dihubungkan dengan ivasi dari suku asli Àrya, yang kitab sucinya adalah Ågveda,
yang sering disebut menghancurkan pusat kekuasaan dan pola irigasi mereka.
Pendapat baru-baru ini mengatakan bahwa kota itu hancur secara perlahan
akibat kekeringan pada dasar sungai Sindhu, dan sisa kehancuran dari bangsa
Àrya sangat kecil. Pendapat yang lain menghubungkan bahwa leluhur
orang-orang Tamilke Mohenjo-Daro dan Harappa, Dravida Kuno diduga berpindah ke
selatan dan hingga kini bermukim di Tamilnadu, tetap memelihara peninggalan
lembah sungai Sindhu, mitologi dan dewa-dewa mereka, yang kita temukan kembali
di dalam agama yang bersifat Brahmana sesuai kitab-kitab Puràóa, Saýhità dan
Àgama (Klostermaier, 1990: 35).
Elemen Budaya Bangsa Arya di dalam Hindu Dharma
Perpindahan bangsa Àrya sangat penting sepanjang sejarah India, yang secara
kuat membentuk atau mempolakan agama Hindu. Dengan tidak mengurangi arti bahwa
para imigran itu memiliki agama yang sama, namun kenyataannya bahwa mereka
dibedakan atas lima kelompok yang di dalam kitab suci Veda disebut Pañca Janaá.
Mereka menyebut diri mereka àrya, yang terhormat, orang-orang yang memiliki
kedudukuna dan kualitas, menunjukan arogansi terhadap mereka yang berkulit
hitam, hina. Seperti telah disebutkan di depan, tentang asal muasal bangsa
Àrya, B.G. Tilak menyatakan mereka berasal dari bagian kutub Utara dan pindah
ke India sekitar 6.000 Sebelum Masehi. F. E Pargiter, seorang sarjana besar
Puranic (ahli Puràóa), mengidentifikasikan bangsa Àrya dalam Veda dengan Aila
dalam Puràóa, dan menyatakan bahwa bangsa Arya datang ke India sekitar 2.050
Seb. Masehi dari tengah-tengah pegunungan Himalaya dan pertama kali menetap di
Pràyàga, dari sini kemudian mereka menyebar menuju ke arah Barat Laut. Walaupun
pendapat Pargiter ini dipandang cukup kuat, namun para ahli Timur (Indologist)
pada umumnya tetap mendukung teori yang menyatakan bahwa bangsa Àrya datang ke
India berasal dari barat Laut, apakah dari Selatan Rusia atau dari Iran,
setelah pecah yang kemudian sebagian menjadi orang Iran dewasa ini. Mereka
sampai ke India antara 1.500-1.200 Sebelum Masehi dalam beberapa gelombang,
menyebar ke Timur dan Selatan. Runutan sejarah India Kuno merupakan lapangan
study yang sangat sulit, dengan berbagai metodologi yang secara radikal
berbeda-beda dikembangkan oleh para ahli, mengakibatkan sangat sulit menentukan
tanggal yang pasti, oleh karenanya secara ekplisit maupun implisit menolak
hasil riset yang dilakukan oleh ahli yang lain.
Bertentangan dengan budaya urban dari peradaban Harappa, bangsa Àrya membawa
relatip sederhana budaya desa dengan sistem kekerabatan yang patriarchat.
Meskipun terdapat perkiraan yang kuat tentang institusi Bramanisme dan inti
dari Ågveda sendiri menambahkan infomasi tenga penyerangan bangsa Àrya ke
India, keduanya berhubungan demikian dekat dan demikian masa awal dimaksudkan
untuk semua tujuan praktis, secara ringkas dapat dikatan bahwa agama Veda
tidak lain adalah aturan sistem pemujaan dari bangsa Àrya. Sejak jaman
Vìracarita dan Puràóa yang kemungkinan pada masa yang bersamaan, menggambarkan
aspek yang populer dari agama Hindu Kuno, yang diyakini berasal dari masa
awal dalam mellengkapi ajaran suci Veda.
Sejak awal kita dapatkan informasi tentang struktur masyarakat Àrya yang
menempatkan kedudukan pertama bagi para Bràhmaóa dan Kûatrìya, Vaiûya
melaksanakan kebebasan untuk bertani, beternak, sebagai artis dan berdagang,
dan Úudra menyediakan tenaga dan pelayanannya kepada semua orang. Di luar
struktur ini terdapat penduduk asli, yang nantinya berasimilasi secara alami.
Demikian juga masalah perbudakan kita temukan dalam sejarah India Kuno. Para
Bràhmaóa adalah pelaksana Yajña, upacara korban yang sangat penting.
Mantra-mantra pemujaan senantiasa berhubungan dengan Yajña dan diwariskan turun
temurun secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya, dan dipertahankan
dari pengaruh luar. Tradisi agama yang tersimpan dalam Itihàsa dan Puràóa
dikenal adanya mùrti (arca) dan maóðir (pura), mujizat (keajaiaban), mitologi
dan hal ini sangat populer dan kadang-kadang menggantikan agama Veda. Upacara
Veda hingga kini berlangsung dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun kenyataannya
dalam tradisi upacara korban nampak pengaruh local, dilaksanakan dan
mendomonasi lingkup agama Hindu.
Di dalam kitab-kitab Puràóa disebutkan Åûi Agastya, seorang missionaris dari
bangsa Àrya yang bertanggung jawab dalam penyebaran agama Hindu di India
Selatan. Pengaruh Hindu selanjutnya berkembang sampai Asia Tenggara dan
Indonesia selama masa keemasan India. Meskipun untuk beberapa abad agama Buddha
dan jaina juga mengklaim banyak pengikut dan berkembang di bawah patron
raja dinasti Gupta di India Utara dan Pallava di Selatan, namun tersapu
bersih oleh supremasi agama Hindu. Para Bràhmaóa yang memegang tradisi
Veda, teristimewa filsafat Vedànta berhasil memenuhi keinginan masyarakat
dengan memberikan berbagai jalan melalui berbagai Sampradaya atau sekta
seperti Úaiva, Vaiûóava dan terakhir adalah Úakta. Demikianlah secara
teratur gerakan missionaris (Dharmadùta) menyebar luaskan berbagai kitab
seperti Bhagavadgìta, Ràmàyaóa dan Bhàgavata Puràóa. Secara geografis
Úaiva dominan di India Selatan, Vaiûóava berkembang di Utara, sementara itu di
Bengal (Benggala) , Assam dan Orissa berkembang pesat Úakta dan pengaruh
yang terakhir ini sampai ke Indonesia dan khususnya Bali. Upacara dan perayaan
Galungan mengingatkan perayaan Durgàpùjà di India
Hinduisme dan Budaya Bali
Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan
perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu
di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India.
Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti
sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di Kalimantan Timur
(pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mùlavarman dan di Jawa Barat
oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari India Selatan. Selanjutnya
perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh
raja Sanjaya pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri
dinasti Matarama Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang
disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan
Hindusime di Jawa Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di
Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh
dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan
sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen
prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi
bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra
Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun
778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata
“Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga
kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva
Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva
Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya
menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh
raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja
dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu
Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad
k2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah
ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar.
Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi
Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal
dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan
adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu
Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkann kemungkinan telah
terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat
akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang
sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme
dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa
pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut
menjadi agama negara.
Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan
oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau
Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada
mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat
dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam)
di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi
Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki
(Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai
peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana.
Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari
stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan
Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat
diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di
Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca
Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat
adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur
pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut,
ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha
(Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha
Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang
mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami
istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan
raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa
Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa
Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir
dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh
ekspediri Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan
agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang
pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam
perdana mentri) yang menata kehidupan kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga
kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr.
R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata,
Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya.
Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad
Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di
antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai
kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa
buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang
Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra
yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual
pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer
disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut
dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan
Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen
peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan
purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di
bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke
Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara
lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan
di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem
Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang
Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu kehidupan agama diwarnai
dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di samping dakui pula eksistensi
Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya
Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama
Hindu (Hindu Dharma), unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat diamati.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di
Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal
sejak awalnya tetap dipertahankan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang
dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni
dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.
Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di
Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali
dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di seluruh penjuru
dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula di
samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat
sepintas, sulit pula membedakan antara agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena
itu sering terjadi identifikasi bahwa agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali.
Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa kedudukan agama Hindu dalam hubungannya
dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya danm
kebudayaan ini.
Agama Hindu dapat disebut sebagai isi, nafas dan dan jiwa dari budaya Bali
sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat
ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu
ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan.
Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan
bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah
hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya
tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya,
karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama,
univesal dan bersifat abadi.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa,
inti atau fokus budaya itu memancar pada: (1). pandangan hidup masyarakat Bali,
(2). seni budaya Bali, (3). adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan
pangejawantahan dari hukum Hindu dan (4). organisasi sosial kemasyarakatan
tradisional seperi desa Adat, Subak dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai
aspek budaya yang bernafaskan ajaran Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan
mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.
Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas secara singkat dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Agama Hindu sebagai agama yang tertua tumbuh dan berkembang tidak
terlepas dengan pengaruh dan dukungan lingkungan alam dan budaya dari suatu
masyarakat pendukungnya. Demikianlah pada awalnya tidak terlepas dari peradaban
lembah Sindhu dan pengaruh lokal di India Utara, Selatan atau Timur.
2. Nama Hindu bukanlah nama asli dari agama ini, melainkan diberikan oleh
orang asing yang mengadakan kontak dengan bangsa Àrya yang pertama kali menetap
di lembah sungai Sindhu kemudian menyebar ke berbagai penjuru India dan
berasimilasi dengan berbagai suku bangsa asli di anak benua tersebut.
Hinduisme kemudian berkembang di Nusantara (Indonesia) termasuk Bali dengan
warna luarnya sendiri.
3. Nama asli agama Hindu adalah Sanàtana Dharma (karena ajarannya bersifat
abadi dan berlaku sepanjang masa). Nama lainnya adalah Vaidika Dharma, karena
bersumber pada kitab suci Veda.
4. Karakteristik agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya, namun
masih dalam koridor yang disebut Àdikara (disiplin diri) dan Iûþadevatà (aspek
Tuhan Yang Maha Esa, yang dipuja dan sangat didambakan kasih dan karunia-Nya.
5. Dalam perkembangan agama Hindu dikenal adanya berbagai Sampradaya yang
oleh orang Barat disebut Sekta, dan yang sangat dominan dan juga berpengaruh ke
Indonesia adalah Úaiva,Vaiûóava dan Úakta sedang di Bali yang dominan adalah
Úaiva Siddhanta (Tri Murti) yang sangat kental mendapat pengaruh Tantrik.
6. Budaya Bali merupakan ekspresi dari agama Hindu, semua aspek budaya Bali
senantiasa diabdikan untuk kemuliaan agama Hindu, demikian pula sebaliknya
agama Hindu senantiasa menjiwai semua aspek budaya tersebut. Hubungan antara
agama dan budaya Bali sangat sulit dipisahkan, bagaikan jalinan tenun ikat Bali
yang mempesona.
Sumber >> http://www.parisada.org
No comments:
Post a Comment