Tuesday, January 16, 2018

Petilasan Kiayi Ageng Pemacekan, Parahyangan Sapta Pandita



Petilasan Kiayi Gusti Ageng Pemacekan dusun Pasekan, desa/kecamatan Karang Pandan, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

petilasan Kiayi Ageng Pemacekan, di Jawa Tengah

Sejarah telah menorehkan bahwasanya tanah Bali itu pada tahun  988 Masehi s.d 1011 Masehi  diperintah oleh raja yang tenar dengan julukan Raja Suami Istri (Sri Mahendradata dan Sri Udayana Warmadewa)  bergelar Sri Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa. Pada zaman pemerintahan raja suami istri inilah di tanah Bali sempat agak kurang damai, karena kekacauan muncul hampir setiap waktu penyebabnya tidak ada lain yakni perbedaan keyakinan kepadaNya. Dari situasi perselisihan pertentangan mengharapkan persatuan kesatuan, ada enam jenis kepercayaan yang dianut oleh warga tanah Bali kala itu dimana mereka mayoritas dari warga Bali Mula dan Bali Aga.  Penduduk tanah Bali kala itu menganut Sad Paksa (enam sekte agama) ; Sambu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu. Yang mana dalam pelaksanaannya acap menimbulkan keresahan dalam masyarakat (akibat dari keanekaragaman paksa itu). Sedemikian lamanya kemelut itu terjadi hingga pada suatu saat atas kebijakan nan bijaksana dari Raja Suami Istri,  beliau mengundang Empat Bersaudara orang suci (Catur Sanak)  di Jawa Timur. Keempat orang suci itu, masing-masing telah tersohor keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan, mereka adalah para Mpu (brahmana) ; Mpu Semeru/Mpu Mahameru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, serta Mpu Gnijaya, mereka datang ke Bali tidak bersamaan, selanjutnya mendampingi pemerintahan/kepemimpinan Raja Suami Istri di Bali. Kisah kedatangan para brahmana itu ke tanah Bali selintas sbb. ;
 
petilasan Kiayi Ageng Pemacekan, di Jawa Tengah
 
Daerah Jawa Tengah, peta lokasi petilasan Kiayi Gusti Ageng Pemacekan, Parahyangan Sapta Pandita

Mpu Semeru  penganut agama Siwa, tiba neng tanah Bali saat  Jum’at Kliwon, wuku Pujut saat bulan penuh di sasih kaulu (Candra Sangkala Jadma Siratmaya Muka, tahun saka 921 (999M), sempat istirahat bersih-bersih di Tampurhyang , disanalah beliau dengan kekuatan panca bayunya menciptakan seorang manusia berbahan dari tonggak kayu asam (celagi) nan hitam, selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem. Beliau berparahyangan di Besakih (pengempon Bhatara Hyang  Putranjaya. Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya tiba neng Bali hari Senin Kliwon wuku Kuningan (pemacekan Agung), penanggal ping 7 saka 922 (1000M). Selanjutnya berparahyangan di Gelgel Mpu Kuturan ( Mpu Rajakertha), pemeluk agama Bhuda aliran Mahayana, tiba neng Bali saat Rabu Kliwon wuku Pahang tahun saka 923 (1001 M), berparahyangan di Padang / Padangbai.  Selanjutnya Sang Mpu memimpin dan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada rakyat Bali utamanya tentang kerukunan, antar sesama dengan iklas saling menghargai. Mpu Gnijaya (Sang Brahmana Panditha), penganut Brahmaisma tiba neng Bali Kamis Umanis, wuku Dungulan sasih kedasa, saka 928 (1006M), akhirnya berparahyangan di Bukit Bibis (Pura Lempuyang Madya). Beliau menikah dengan Dewi Manik Gni  putri dari dari Bhatara Hyang Putranjaya. Selanjutnya beliau melakukan upcara pudgala bergelar Mpu Gnijaya (sama dengan nama leluhurnya  yakni Bhatara Hyang Genijaya. Mpu Gnijaya berputra tujuh orang keloktah dengan sebutan Sang Sapta Rsi/Sang Sapta Pandita ; Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, serta Mpu Dangka.  Sang Sapta Pandita (Sang Sapta Rsi) putra dari Mpu Gnijaya akhirnya  samua berumah tangga di tanah Jawi, serta dengan keturunannya masing-masing. Atas kehendakNya para Sapta Panditapun, mangkat di tanah Jawi.


Sumber bacaan : buku ‘mengenal petilasan  Kyayi Gusti Ageng Pemacekan & Parahyangan Sapta Pandita oleh : Jro Dalang I Nyoman Sudana.


No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini