Walau pada kenyataannya Nusantara itu berupa negeri yang
dipengaruhi dua musim, kemarau dan penghujan dengan asumsi diatas kertas enam
bulan musim hujan dan enam bulan berikutnya adalah saatnya kemarau.
Sampai-sampai oleh para siswa di sekolah diajari suatu cara untuk menghitung
bulan-bulan mana saja yang terkatagori musim hujan (biasanya nama bulan yang berakhiran ber,
tentu di NKRI sedang musim hujan, contoh : oktober : berhujan, November :
berhujan, Desember : berhujan). Namun itu semua hanyalah teori yang didapat
lewat banyak penelitian, tapi tentang keakuratan riilnya di lapangan tidaklah setepat teori yang berlaku. Misalnya
lumrah kita alami bersama sebenarnya dalam perhitungan sudah musim
kemarau/panas namun sang hujan masih saja mengguyur bumi, atau sebaliknya.
Mungkin atas kenyataan itulah di buatkan
satu istilah lagi untuk musim dinamakan
panca roba (peralihan dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya).
Lantaran keterbatasan kita sebagai manusia yang nyata-nyata
merupakan ciptaanNya, dan mempercayai sepenuhnya bahawasanya kita hanya dapat
berusaha, Tuhan yang menentukan. Maka
segala sesuatu yang terjadi terlakoni selama hidup kita, kita percaya karena
semua atas kehendakNya, tidak terkecuali tentang keadaan alam tempat kita
bersama misalnya mengenai kesuburan suatu lahan garapan yang terkait lengket
dengan curah hujan sepanjang tahunnya. Khusus tentang hujan, di nusa kecil Bali
jika musim kemarau berlangsung cukup lama sehingga lingkungan terasa puanas
dalam artian siang malam terasa gerah/ ungkeb (bhs.Bali) dan sumber sumber air bersih mulai mengering maka
biasanya di Desa Seraya, Karangasem diadakan suatu tradisi memohon hujan
kepahadapanNya, Gebug Ende demikian nama tradisi yang satu ini, unik memang.
Berupa tradisi budaya relegius, yang dimainkan oleh dua orang laki-laki
bercirikan semangat berperang bernafaskan kepahlawanan. Perang rotan atau
lumrahnya disebut gebug ende bersenjatakan sepenggal rotan sekitar dua meteran,
serta berpresaikan kulit sapi kering yang dibingkai dengan kayu dengan diameter
sekitar 60 cm, bentuk perisai biasanya bundar. Diantara yang sedang bertarung
juga ada seorang wasit, yang bertugas melerai ketika pertarungan semakin keras,
pekembar sebutan wasitnya. Pertarungan gebug ende ini, dilaksanakan tanpa baju
hanya mengenakan busana kain/kamben adat saja. Diiringi dengan suara gamelan
bleganjur, serta riuhnya sorak sorai penonton, berdua berduel sampai-sampai
diantara mereka ada yang berdasah bahkan
pingsan. Antraksi yang unik ini lasimnya dilakukan di sela-sela istirahat kerja
di ladang, kala siang atau sore hari.-
Sumber bacaan : Koran/majalah mingguan tokoh nomor 948.
No comments:
Post a Comment