Wednesday, June 21, 2017

Unik memang cara memohonnya




Walau pada kenyataannya Nusantara itu berupa negeri yang dipengaruhi dua musim, kemarau dan penghujan dengan asumsi diatas kertas enam bulan musim hujan dan enam bulan berikutnya adalah saatnya kemarau. Sampai-sampai oleh para siswa di sekolah diajari suatu cara untuk menghitung bulan-bulan mana saja yang terkatagori musim hujan  (biasanya nama bulan yang berakhiran ber, tentu di NKRI sedang musim hujan, contoh : oktober : berhujan, November : berhujan, Desember : berhujan). Namun itu semua hanyalah teori yang didapat lewat banyak penelitian, tapi tentang keakuratan riilnya di lapangan  tidaklah setepat teori yang berlaku. Misalnya lumrah kita alami bersama sebenarnya dalam perhitungan sudah musim kemarau/panas namun sang hujan masih saja mengguyur bumi, atau sebaliknya. Mungkin atas  kenyataan itulah di buatkan satu istilah lagi untuk musim  dinamakan panca roba (peralihan dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya).

Lantaran keterbatasan kita sebagai manusia yang nyata-nyata merupakan ciptaanNya, dan mempercayai sepenuhnya bahawasanya kita hanya dapat berusaha, Tuhan yang menentukan.  Maka segala sesuatu yang terjadi terlakoni selama hidup kita, kita percaya karena semua atas kehendakNya, tidak terkecuali tentang keadaan alam tempat kita bersama misalnya mengenai kesuburan suatu lahan garapan yang terkait lengket dengan curah hujan sepanjang tahunnya. Khusus tentang hujan, di nusa kecil Bali jika musim kemarau berlangsung cukup lama sehingga lingkungan terasa puanas dalam artian siang malam terasa gerah/ ungkeb (bhs.Bali) dan  sumber sumber air bersih mulai mengering maka biasanya di Desa Seraya, Karangasem diadakan suatu tradisi memohon hujan kepahadapanNya, Gebug Ende demikian nama tradisi yang satu ini, unik memang. Berupa tradisi budaya relegius, yang dimainkan oleh dua orang laki-laki bercirikan semangat berperang bernafaskan kepahlawanan. Perang rotan atau lumrahnya disebut gebug ende bersenjatakan sepenggal rotan sekitar dua meteran, serta berpresaikan kulit sapi kering yang dibingkai dengan kayu dengan diameter sekitar 60 cm, bentuk perisai biasanya bundar. Diantara yang sedang bertarung juga ada seorang wasit, yang bertugas melerai ketika pertarungan semakin keras, pekembar sebutan wasitnya. Pertarungan gebug ende ini, dilaksanakan tanpa baju hanya mengenakan busana kain/kamben adat saja. Diiringi dengan suara gamelan bleganjur, serta riuhnya sorak sorai penonton, berdua berduel sampai-sampai diantara mereka ada yang berdasah  bahkan pingsan. Antraksi yang unik ini lasimnya dilakukan di sela-sela istirahat kerja di ladang, kala siang atau sore hari.-

Sumber bacaan : Koran/majalah mingguan tokoh  nomor 948.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini