Saturday, November 26, 2016

Warga Hindu Bali dengan lingkungannya (Palemahan)


Ketahuilah,  kain Htam-Putih (poleng),  dalam kiprah budaya Bali  merupakan simbol/expresi dari penghayatan Rwa Bhineda suatu konsep keseimbangan baik dan buruk.


Bali yang jamaknya acap nian di sebut sebagai  Pulau Dewata, notabene  merupakan fakta tiada terbantah jadi  sebagian kecil dari wilayah negara kesatuan  Republik Indonesia atau latahnya disebut NKRI. Menjadi bagian dari wilayah suatu negara yang hitrogen suku sudahlah tentu akan ditempati oleh lebih dari dua jenis suku bangsa yang riil tujuan utamanya sebagai tempat mencari nafkah demi keluarga. Dunia internasional mengakui bukan  hanya antar suku bangsa yang rukun di Bali, tapi lebih jauh perbedaan keyakinanpun bukanlah menjadi jurang pemisah diantara para warga NKRI yang  merasakan bahwa tanah Bali itu sebagai tempatnya berpijak yang paling nyaman. Itulah keseharian nuansa Bal,  yang dihuni oleh warga pribumi yang memiliki  hati,  terejawantahkan lewat rasa hormatnya yang tinggi antar sesame ciptaanNya. Dalam aktivitas keseharianya yang terus menerus berbaur antar umat dan atara suku yang berbeda hingga suatu kejadian yang sejenis berulang-ulang terjadi.  Contoh  ; Sering kali muncul pertanyaan "Pak/Bu itu Pohon-nya kenapa disembahyangi atau diikatkan kain warna Hitam & Putih (poleng) ? Apakah ada Penunggunya ya, kok serem banget dan jadi takut lewat sana.   Sebagai Orang Bali & tinggal di Bali, wajib hukumnya kita paham dan bisa memberikan penjelasan yang benar, agar makna sebenarnya di ketahui oleh mereka-mereka yang menyimpan suatu tanya di hatinya.
.


 Mau tidak mau karena Bali itu identik nian dengan Hindu, maka kita mesti  kembali ke dasar falsafah/hakekat dari ajaran Hindu Bali adalah Tri Hita Karana, yang berasal dari kata tiga penyebab terciptanya kebahagiaan manusia. Terciptanya kebahagiaan manusia ini adalah adanya hubungan yang selaras antara Manusia dengan Tuhan ( Parahiyangan), Manusia dengan Alam lingkungan ( Palemahan), serta sesama manusia (Pawongan). Bagi pohon yang besar seperti beringin termasuk dalam kriteria hubungan manusia dengan alam, dimana fungsi pohon adalah sebagai penyaring udara dengan menghasilkan oksigen, sebagai penyedia makanan bagi hewan herbivora, menjaga kesuburan tanah, serta menahan laju air atau penangkal erosi dan demi terjaganya yang namanya keseimbangan alam.
.

 
Sedangkan kain Htam-Putih (poleng)
,  dalam kiprah Budaya  Bali merupakan simbol/expresi dari penghayatan Rwa Bhineda suatu konsep keseimbangan baik dan buruk. Jika kembali ke pertanyaan kenapa pohon besar diselimuti kain hitan putih & diberi sesajen, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut adalah bentuk penghormatan Manusia kepada Alam sekitar dengan memperhatikan dampak baik buruknya perlakuan manusia terhadap alam dengan symbol pepohonan tersebut. Dan apabila Alam dihancurkan dengan penebangan liar, akan mengakibatkan banjir, polusi, dan kepunahan berbagai habitat didalamnya, dan akan berdampak juga terhadap manusia itu sendiri, sehingga keseimbangan ini harus dijaga dengan bentuk penghormatan, serta diberikan symbol kain hitam putih pada pohon, dan juga pada benda benda tertentu. Demikianlah konsep dari tri hita karana yang selalu di agung agungkan masyarakat Bali dalam menghadapi perkembangan globalisasi. Mungkin saja dahulu masyarakat Bali menggampangkan jawaban dengan mengatakan ada penunggunya, dan tenget (angker) dengan tujuan agar manusia tidak merusak/menebang pohon, sehingga kelestarian alam dapat terpelihara

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini