Kebenaran
(satya) merupakan hukum nan agung, yang kokoh dan suci adalah rta, tapa bratha
doa’a-do’a dan yadnya inilah yang menegakkan bumi, semoga bumi ini ibu kami
sepanjang masa memberikan tempat yang melegakan serta nyaman bagi kami
Melasti/melis di Bali |
Tidaklah dapat disangkal bahwasanya masyarakat Bali (baca
pribumi Bali/Hindu Bali) senantiasa
berpedoman pada ajaran Tri Hita Kerana, yakni selalu hidup dengan agamanya yang
terkait lengket dengan yang disebut yadnya/korban suci, menyatu dengan
alam dan mahluk hidup yang lain di muka
bumi ini/ masyarakat asli Bali toleransinya demikian tinggi tiada yang mampu
menyamai. Dunia mengakui tanah Bali itu memiliki kekuatan magis yang luar
biasa, ini pulalah yang menjadi daya tariknya tanah Bali. Di seluas-luasnya nusa kecil Bali disetiap
harinya tidak pernah putus terselenggara hubungan antara umat Hindu Bali
denganNya, atau ritual Hindu senantiasa ada di saban harinya, belum lagi
saat-saat hari keagamaan yang terkatagori besar semisal Hari Raya Galungan,
Hari raya Tawur Agung (tilem sasih kesanga) sehari menjelang hari raya Nyepi.
Apapun kata mereka ( baik cacian cercaan ataupun pujian),
masyarakat Bali (baca Hindu Bali) memanglah demikian adanya penuh perhitungan
dalam hal menyangkut keagamaan/keyakinan.
Riil kongkritnya, dalam perhitungan Hindu, sebelum kita meminta
hendaknya kita memberi/mepunia/meyadnya (walau sedekah). Umat Hindu,
memberi/meyadnya itu menyebutnya sebagai korban suci baik kepada sesama, mahluk
lain ciptaanNya bahkan kepada alam besar ini. Jelas kentara saat menjelang
pergantian tahun baru saka, umat Hindu melakukan ritual korban suci berupa
butha yadnya/pecaruan/ tawur agung dan esoknya diadakan berata penyepian (
pengurangan aktivitas rutin). Saat penanggal ping pisan sasih kedasa (Hari Raya
Nyepi) merupakan riilnya penyucian buana agung (alam semesta) dengan harapan
kedepannya akan terwujud keselamatan kesejahtraan kebahagiaan lahir bathin alam
beserta isinya.
Beji, salah satu tempat mesuciang/nyiramang Ida Betara menjelang Hari Raya Nyepi |
diadakan tawur, disaat sasih butha |
Sesuai pandangan filosofi Hindu, diyakini bahwa saat sasih
kesanga (bulan kesembilan disetiap tahun
saka) adalah merupakan puncaknya bulan-bulan kotor /cemer (bhs.Bali) lumarh
disebut sebagai sasih buta. Sasih buta, kurang lebih bermakna saat yang tepat
untuk melaksanakan korban suci buta yadnya (persembahan kepada buta) tidak baik dipakai sebagai dewasa ayu manusa yadnya utamanya menikah, dan tidak baik juga sebagai dewasa Dewa yadnya. Dan
sesuai dengan perputaran musim khususnya musim di NKRI saat sasih kesanga
adalah saat pergantian musim (panca roba) dari musim hujan ke musim panas. Sedangkan
sasih kedasa (setelah sasih kesanga), digolongkan sebagai sasih Dewa, misalnya
: hari yang dianggap baik memakuh aneka tempat suci saat purnama sasih kedasa
(pertengahan sasih kedasa). Perhitungan dalam Hindu, sebelum memasuki yang
namanya sasih Dewa/kedasa aneka macam Pralingga sthana Ida Betara agar
disucikan dengan cara ritual mekiyis/melis/melasti ke sumber-sumber air yang dianggap suci ( beji,campuhan, dan
pantai/segara). Itulah sebabnya ritual Hindu yang di namakan
mekiyis/melasti/melis itu dilakukan menjelang akhir sasih buta/sasih kesanga
sebelum memasuki sasih Dewa ( saat-saat
tepat untuk memuja Dewa / ritual Dewa Yadnya ).
No comments:
Post a Comment