Friday, December 18, 2015

Tirtha Selaka



Yang namanya keyakinan manusia dari sejak dahulu ada dan bertahan hingga NKRI memasuki zaman batu akik salah satunya adalah keyakinan penduduk tanah Bali (baca Hindu Bali) akan adanya suatu kekuatan yang mampu memberikan bantuan/jalan keluar akan masalah yang dihadapi. Kita semua tahu, bahwasanya pulau Bali itu warganya adalah dominan penganut Hindu nan taat dari sejak zaman dahulu, sebut saja di era kerajaan. Kita ambil saja contoh, yang namanya tirtha (air suci) juga telah ada/dikenal dari zaman kerajaan hingga kini, itu tiada lain penyebabnya karena para penguasa Bali dahulu juga penganut Hindu. Yang namanya masalah hidup tentu dialami oleh manusia dari awal manusia ada  hingga sampai akhir zaman, walaupun penguasa/raja sekalipun tidakkan luput dari masalah kehidupan. Demikian juga halnya dengan raja tanah Bali, ayahndanya raja Sri Masula-Sri Masuli dahulu (penguasa tanah Bali di era Bali Kuno), beliau hampir berkecil hati karena lama tidak memiliki keturunan.


Tuhan yang Maha Pengasih rupanya berhendak lain, maka munculnya ide/niat di hati sang raja untuk memohon kemurahan Yang Diatas Sana. Hindu meyakini gunung itu tempat bersthananya para Dewa, maka sang raja penganut Hindu itu memohon/berdo’a  kehadapan para Dewa di Gunung Toh Langkir (Gunung Agung), agar sang permaisuri segera dapat melahirkan sebagai penerus keturunan sang raja.  Memang Beliau Maha Pemurah apa lagi terhadap pemujaNya yang taat, maka petunjukpun diperoleh. Dalam petunjuk, agar sang raja bisa mendapatkan tirtha/air suci Selaka guna diberikan kepada sang permaisuri, agar keinginan mendapatkan keturunan terkabul. Perintah raja wajib dilaksanakan walau nyawa taruhannya, maka atas perintah raja berangkatlah seorang brahmana kepercayaan melintasi seluas-luasnya tanah Bali demi yang namanya tirtha Selaka.  Tidak mampu diceritrakan suka-duka sang brahmana selama pengembaraan memenuhi perintah Sang raja, maka tibalah sang brahmana pada suatu tempat, merupakan sebuah goa  yang kini terkenal dengan nama Goa Kereban Langit. Saat sang brahmana tiba di goa itu, wilayah sekitarnya bernama Bantiran/Desa Bantiran (era pemerintahan raja Sri Udayana).  Ntah sejak kapan goa Kereban Langit, juga merupakan sebuah pura tempat sucinya penganut Hindu dengan nama Pura Kereban Langit yang  pada awalnya diempon oleh lima kepala keluarga. Lantaran perubahanlah yang kekal, maka diyakini sekitar tahun 1076 Masehi, desa Bantiran berubah menjadi desa Sading yang terkenal dengan prasasti sadingnya  yang mencantumkan nama sebuah goa yakni goa Kereban Langit.

Konon goa Kereban Langit itu dijaga oleh seorang pertapa, kala sang brahmana tiba di goa itu lalu menceritrakan tujuannya demi memenuhi titah sang raja, sang pertapa kemudian menunjukkan sebuah mata air yang terdapat di dalam goa, pucuk dicinta ulampun tiba atas kehendakNya jua rupanya air di tengah goa itulah tirtha Selaka.  Singkat ceritra, air suci itupun dihaturkan kepada sang permaisuri.  Memang Maha Besar Hyang Kuasa, sang permaisuripun akhirnya melahirkan. Terlahirlah sepasang anak kembar si penerus keturunan, kembar buncing/ laki dan perempuan. Diberikan nama Sri Masula – Sri Masuli, setelah besar dinikahkan menjadi raja suami-istri penguasa jagat Bali, di zaman Bali kuno. Tentang Goa/Pura Kereban Langit, hingga saat ini banyak para pasutri yang belum memiliki keturunan, datang ke sana memhohon kemurahan hati Beliau agar dapat diberikan penerus keturunan/generasi. Tepatnya goa/pura Kereban Langit ada di Desa Sading, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,Bali.


sumber info : sebuah status FB.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini