" Desa Pakraman Sai " foto Majalah Tabanan Serasi , 26 oktober 2013 |
Lumrah ke seantero jagat kalau upacara ngaben (pembakaran mayat) hanya terkenal ada di tanah Bali saja. Hutang si anak belumlah disebut impas sebelum mampu/ bisa melaksanakan upacara ngaben untuk kedua ortunya ( hal itu umum berlaku diseantero tanah Bali). Namun bukan demikian halnya yang terjadi di desa pekaraman Sai kecamatan Pupuan, kabupaten Tabanan Bali. Sampai-sampai Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali di tahun 1952 ( saat itu PHDI Bali masih berkantor di Singaraja ), pernah melayangkan protes ke Desa Pakraman Sai karena tidak menggelar pengabenan masal di tahun itu.
Pura Batur, Desa Pakraman Sai |
Yang namanya pengabenan masal (ngerit), akan serempak di
gelar di semua wilayah tanah Bali kalau menjelang ada karya agung di Pura Besakih, yang
mewajibkan desa pakraman di seluruh tanah Bali menggelar pengabenan massal
(ngerit), demi kesucian Bali dan
mensukseskan karya yang ada di Besakih tentunya. Khusus untuk di Desa Pakraman
Sai mayat di masukkan ke dalam peti yang disebut “table” lalu di kubur di kuburan/setra/seme,
seperti penguburan biasa, “namun diyakini ngaben” Di Desa Pakraman Sai tidak
ada pembakaran jenazah apalagi mengusung mayat
dengan bade/wadah/jempana.
Sesuai dengan “dresta”
yang ada di Desa Pakraman Sai, tradisi mengubur mayat itulah yang mereka
namakan/ disebut ngaben. Pengabenan di Desa Pakraman Sai cukup menggunakan “tirtha
pengentas” dan “tirtha penyuargan” dari pura batur. Uniknya lagi tentang orang
yang meninggal di Desa Pakraman Sai pantang
“mekingsan” sebelum ada dewasa
baik untuk mengubur, mayat orang yang meninggal tetap disemayamkan di rumah
duka. Sebelum dikubur orang yang meninggal (mayat) harus menjalani upacara “metatah”
/potong gigi, walaupun saat masih hidup sudah diupacarai potong gigi. Setelah
upacara potong gigi baru tahapan upacara kematian dilanjutkan sebagaimana
biasanya. Selanjutnya peti mayat/table yang akan dibawa ke kuburan/setra
diupacarai pemelaspasan, layaknya melaspas bade/wadah ketika akan ngaben.
Syarat pengabenan unik di Desa Pakraman Sai, salah satunya melaspas peti mayat
agar peti itu dapat disebut table. Table itu harus diikat dengan “ tali
ketekung benang emas “ Tali ketekung
tetap dibuat dari bambu seperti umumnya di tanah Bali namun ditambahkan benang berwarna
keemasan. Setelah tiba di kuburan, mayat dibuka sebelum dimasukkan ke liang
lahat semua sarana upacara
dilukar/dibuang, monmon yang ada pada mulut mayat juga dibuang, akhirnya
keturunan sang meninggal memerciki tirtha pengentas dan tirtha penyuargan.
Paling akhir mayat kembali dibungkus kain kafan dan dimasukkan ke liang
lahat/dikubur. Tahapan berikut sama dengan prosesi kematian yang lumrah di
tanah Bali : ngetelunin, ngerorasin setelah 12 hari baru mekingsan/nitip di
Pura Prajapati. Menunggu dewasa baik lalu ditebus dan diangkid, untuk
dilarung/dihanyutkan ke laut. Sepulang dari laut, roh yang meninggal di
bawa/diantarkan ke merajan, diupacarai sesuai tingkatan kasta. Akhirnya esoknya
dilakukan upacara meajar-ajar atau nyegara gunung, sebelum di stanakan di
pelinggih rong tiga ( sebagai Bhatara Hyang Guru).
Sumber : Majalah Tabanan Serasi, edisi 26 Oktober 2013.
No comments:
Post a Comment