Monday, January 6, 2014

Prosesi kematian di Desa Sai Kec. Pupuan

" Desa Pakraman Sai " foto Majalah Tabanan Serasi , 26 oktober 2013



Lumrah ke seantero jagat kalau upacara ngaben (pembakaran mayat) hanya terkenal ada di tanah Bali saja. Hutang si anak belumlah disebut impas sebelum mampu/ bisa melaksanakan upacara ngaben untuk kedua ortunya ( hal itu umum berlaku diseantero tanah Bali). Namun bukan demikian halnya yang terjadi di desa pekaraman Sai kecamatan Pupuan, kabupaten Tabanan Bali. Sampai-sampai Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali di tahun 1952 ( saat itu PHDI Bali masih berkantor di Singaraja ), pernah melayangkan protes ke Desa Pakraman Sai karena tidak menggelar pengabenan masal di tahun itu. 


Pura Batur, Desa Pakraman Sai

Yang namanya pengabenan masal (ngerit), akan serempak di gelar di semua wilayah tanah Bali kalau menjelang  ada karya agung di Pura Besakih, yang mewajibkan desa pakraman di seluruh tanah Bali menggelar pengabenan massal (ngerit),  demi kesucian Bali dan mensukseskan karya yang ada di Besakih tentunya. Khusus untuk di Desa Pakraman Sai mayat di masukkan ke dalam peti yang disebut  “table” lalu di kubur di kuburan/setra/seme, seperti penguburan biasa, “namun diyakini ngaben” Di Desa Pakraman Sai tidak ada pembakaran jenazah apalagi mengusung mayat  dengan bade/wadah/jempana.

Sesuai dengan “dresta”  yang ada di Desa Pakraman Sai, tradisi mengubur mayat itulah yang mereka namakan/ disebut ngaben. Pengabenan di Desa Pakraman Sai cukup menggunakan “tirtha pengentas” dan “tirtha penyuargan” dari pura batur. Uniknya lagi tentang orang yang meninggal di Desa Pakraman Sai pantang  “mekingsan”  sebelum ada dewasa baik untuk mengubur, mayat orang yang meninggal tetap disemayamkan di rumah duka. Sebelum dikubur orang yang meninggal (mayat) harus menjalani upacara “metatah” /potong gigi, walaupun saat masih hidup sudah diupacarai potong gigi. Setelah upacara potong gigi baru tahapan upacara kematian dilanjutkan sebagaimana biasanya. Selanjutnya peti mayat/table yang akan dibawa ke kuburan/setra diupacarai pemelaspasan, layaknya melaspas bade/wadah ketika akan ngaben. Syarat pengabenan unik di Desa Pakraman Sai, salah satunya melaspas peti mayat agar peti itu dapat disebut table. Table itu harus diikat dengan “ tali ketekung benang emas “  Tali ketekung tetap dibuat dari bambu seperti umumnya di tanah Bali namun ditambahkan benang berwarna keemasan. Setelah tiba di kuburan, mayat dibuka sebelum dimasukkan ke liang lahat  semua sarana upacara dilukar/dibuang, monmon yang ada pada mulut mayat juga dibuang, akhirnya keturunan sang meninggal memerciki tirtha pengentas dan tirtha penyuargan. Paling akhir mayat kembali dibungkus kain kafan dan dimasukkan ke liang lahat/dikubur. Tahapan berikut sama dengan prosesi kematian yang lumrah di tanah Bali : ngetelunin, ngerorasin setelah 12 hari baru mekingsan/nitip di Pura Prajapati. Menunggu dewasa baik lalu ditebus dan diangkid, untuk dilarung/dihanyutkan ke laut. Sepulang dari laut, roh yang meninggal di bawa/diantarkan ke merajan, diupacarai sesuai tingkatan kasta. Akhirnya esoknya dilakukan upacara meajar-ajar atau nyegara gunung, sebelum di stanakan di pelinggih rong tiga ( sebagai Bhatara Hyang Guru).


Sumber : Majalah Tabanan Serasi, edisi 26 Oktober  2013.

















No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini