Monday, January 6, 2014

Kasta di Bali masa kolonial dulu



Th. 1882, kolonialis Belanda mendirikan Raad Van Kerta, mahkamah adat Bali, dengan alasan politik etis. Hakim-hakim pada Raad Van Kerta diisi oleh para Pedande ( bukan Sri Empu, Bujangga Wisnawa maupun Rsi ), meskipun tidak jarang mereka tidak mengerti masalah hukum, dan tidak mengerti teks-teks hukum keagamaan seperti : Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama yang ditulis dalam bahasa jawa kuno.

Belanda membantu pegangan para hakim Raad Van Kerta dengan menterjemahkan teks-teks tersebut kedalam Bahasa Melayu dan bahasa Bali untuk digunakan sebagai acuan hukum oleh anggota Raad Van Kerta. Terjemahan teks-teks dari bahasa Jawa kuno kedalam bahasa Melayu dan bahasa Bali disesuaikan dengan selera dan kepentingan kolonialisme dan misionarisme. Hal ini sama dan sebangun dengan upaya Max Muller beserta kawan-kawannya dalam menterjemahkan kitab Weda yang disesatkan untuk diterapkan pada masyarakat Hindu di India. Geoffrey Robinson mengomentari hal ini sebagai rekayasa tradisi Bali yang paling mencengangkan oleh Kolonial Belanda.( Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 hal. 51).

Kitab Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama, sewaktu diterapkan oleh Raja-Raja Hindu di Jawa, tidak pernah menerapkan kasta-kasta,karena tidak ada satu kata pun dalam kitab Hukum Hindu maupun kitab Weda yang berisi kata kasta.

Kasta tidak dikenal dan merupakan kata asing bagi umat Hindu, apalagi menjadikan para pesakitannya sebagai Budak. Kasta dan Budak adalah akal-akalan kolonialis semata, sebagai cerminan tradisi kitab Injil dan tradisi Arab.

Pada tahun 1910, kolonialis Belanda mengikuti jejak rekan Eropanya di India yaitu kolonialis Inggris, mendukung penetapan konsep kasta sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali. Dengan demikian kolonialis Belanda, melegalkan dan meneguhkan hierarki kasta serta seperangkat aturan menyangkut hubungan antar kasta dan hak-hak istimewa kasta, yang sebelumnya tidak pernah ada dalam praktek. Dalam kata-kata V.E. Korn, orang Belanda, pakar Bali dan kontrolir Badung 1925 : ” Bukan saja triwangsa diberi tempat yang terlalu penting, tetapi juga sistem kasta itu dilindungi melalui sederet pasal-pasal yang sangat jauh melampaui para raja dan teks-teks hukum tempo dulu”. Pendeknya, apa yang diartikan sebagai usaha Belanda untuk bergiat dalam “tradisi” Bali sebagai politik etis, sebetulnya adalah penciptaan tatanan hierarki baru yang pasti, di mana kekuasaan golongan kasta tinggi lebih besar daripada sebelumnya, dan terlebih lagi di sahkan oleh struktur legal, ideologis dan koesif negara kolonial.(Geoffrey Robinson,Sisi Gelap Pulau Dewata,2005 halaman 51)

Umat Hindu telah dibuat tersesat oleh sarjana pseudoilmiah dan misionarisme, juga oleh umat Hindu sendiri yang tercemar pemikiran misionaris dan tidak kukuh mempertahankan Dharma. Penyesatan tersebut bahkan sampai ketingkat pemurtadan, menentang perintah kitab suci Yayur WedaYathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, Brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca / hendaknya wartakan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, baik kepada para Brahmana, para raja-raja maupun kepada masyarakat pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku maupun orang asing sekalipun.
Rakyat Bali yang bukan “berkasta Brahmana “ dilarang belajar Weda. Hanya mereka yang menyebut dirinya kasta “Brahmana” saja yang boleh belajar agama. Agama dimonopoli oleh Satu kelompok, sedang Rakyat tidak boleh belajar Agama Hindu, kalau belajar Agama Hindu nanti bisa Buduh(Gila ) katanya. Bahkan Resi Gotama ( dari mana dapat gelar Resi nya ya ?) memerintahkan untuk mengecor mulut orang-orang diluar Kasta Brahmana, apabila berani membaca Weda. Aje Were dan anak mule keto suatu ungkapan yang selalu terdengar kalau ada anak-anak/umat Hindu bertanya tentang Agama Hindu. Nawegang antuk linggih, juga suatu ungkapan yang selalu terdengar mendahului percakapan terhadap orang yang baru dikenal. Inilah kemurtadan dan kesesatan yang menjadi-jadi.

Penyesatan tersebut didukung oleh pemerintah kolonialis Belanda dan kaum misionaris kristen yang dikirim untuk mengalih agamakan orang Bali. Pemerintah Kolonialis menguatkan konsep kasta dalam praktek pemerintahan kolonial. Dalam Notulen konferensi administratif tanggal 15-17 september 1910, collectie Korn no 166; Pemerintah kolonial Belanda mendukung konsep kasta, sebagai pondasi prinsipil masyarakat Bali. Dalam penerapannya, Pemerintah kolonialis Belanda memperluas kasta-kasta dengan mengangkat pegawai pamong praja yang pro kolonial dan memberinya gelar bangsawan secara turun temurun.

V.E. Korn menyatakan bahwa sebelum pemberlakuan pemerintahan kolonialis Belanda di Bali, banyak kaum non kasta yang meduduki jabatan-jabatan dalam otoritas politik seperti : sebagai punggawa, sedahan, perbekel dan sebagainya dibanding sesudahnya. Pemerintah Eropa (Belanda) begitu yakin pada gagasan bahwa ketiga kasta tertinggi menyusun fondasi terpenting masyarakat Bali, maka nyaris anggota kasta-kasta itu sajalah yang ditunjuk untuk memegang jabatan tinggi. Dengan mengutip beberapa contoh, Korn mengatakan bahwa di Buleleng (Bali Utara) sebelum aturan kastaisme diterapkan, 16 dari 26 Punggawanya bukan dari ketiga kasta tinggi. Bahkan banyak kelompok diluar ketiga kasta menduduki jabatan tinggi misalnya sebagai pejabat pajak dan hakim pada masa pra kolonial. (V.E. Korn : Het Adatrecht van Bali, 1932 dalam Sisi Gelap Pulau Dewata oleh Geoffrey Robinson, 2005)

Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan Agama Hindu bukannya tidak pernah ada saat itu, bahkan saat gagasan pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para cendikiawan Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih dahsyat dari pada yang menentang kastaisme. Terlebih lagi kondisi umat Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.

Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh, Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei 1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda, protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu yang tidak berdaya. Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak.

Kasta dan Perbudakan tidak sesuai dengan ajaran kitab Weda. Tidak ada satu kata-pun dalam kitab Weda maupun kitab Hukum Hindu yang memuat kata kasta. Kasta dan perbudakan merupakan produk import yang berasal dari budaya perbudakan masyarakat Arab dan Eropa yang tercemin dalam kitab suci Al Qur’an dan Injil (baca Injil Imamat 25/44-46, keluaran 21/1-6,timotius 6/1, titus 2/9,Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18 maupun dalam Al Qur,an Surat An Nissa ayat 24 dan Surat Al Mu’minuum ayat 1-6).

Sumber  : sebuah  status FB pada grup terbuka Bangkitnya Hindu, akun  Guli Mudiarcana

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini