Terjadi di tanah Bali, di pulau sorganya para turis, konsep
tri hita karana di tanah Bali mulai terasa pincang. Karena dari tiga katagori, dua diantaranya mulai terasa
tiada kompak ( tidak berjalan sesuai rencana/teori) kedua
bagian itu adalah pawongan/masyarakat dan palemahan/alam, yang kini masih terasa
kental dan nyata-nyata berdenyut Cuma parahyangan / hubungan manusia dengan
Hyang Kuasa. Tiada terbantahkan ini adalah merupakan ancaman serius bagi Bali,
khususnya “dunia pariwisata”. Lambat laun tanah Bali tidak akan masih tersohor
karena kebudayaannya ( sebagian budaya yang ada telah sirna seiring zaman ).
Banyak bibir yang tersenyum sinis, karena perkataan petani
menjadi soko guru ekonomi di tanah Bali
tidak sesuai kenyataan, dari tahun ke tahun jumlah petani di tanah Bali teruus
berkurang. Maraknya alih fungsi lahan itulah penyebab utamanya, adakah suatu
kebijakan yang tiada tepat? Miris
memang, karena pelestarian subak yang menjadi ciri khas tanah Bali ikut
terancam. Rupanya perlu semacam suatu terobosan yang signifikan, karena amat
dibutuhkan suatu keberanian yang bernyali dari para pimpinan daerah untuk
membuat suatu aturan (moratorium) alih
fungsi lahan. Karena alih fungsi lahan adalah pemicu terbesar berkurangnya
petani dan lahan pertanian di tanah Bali. Petani agar terlindungi, diberikan
berbagai kemudahan dalam menjalankan aktivitas, tidak hanya perbaikan infrastruktur / bantuan ke subak. Perlindungan
hasil panen juga mesti dapat perhatian dengan demikian niscaya bangkitlah
gairah para petani untuk bertahan
sebagai petani. ( penurunan jumlah petani di tanah Bali hampir di semua
kabupaten di Bali, utamanya Buleleng. Sesuai dengan hasil sensus pertanian 2013
yang dirilis BPS.
Sumber : Bali post
6 september 2013.
No comments:
Post a Comment