Bali post , 13 -05-
2012.—
Kabupaten Tabanan
provinsi Bali memiliki segudang pura yang berkaitan dengan krama subak. Salah
satunya adalah Pura Kahyangan Jagat Pucak Tinggah di desa Angseri, Baturiti.
Pura di pucak bukit ini diyakini sebagai pertemuan antara Bhatara Brahma dan
Bhatara Wisnu untuk memberikan kemakmuran bagi para petani. Konon pura ini
awalnya adalah hutan bambu. Nama Pucak Tinggah berarti puncak di tengah hutan
bambu.
Prajuru Pura Pucak
Tinggah, menjelaskan ada 3 kelompok prasasti yang mengisahkan asal-usul Pura Kahyangan
Pucak Tinggah. Prasasti ini hasil penelitian dari ahli purbakala asal Belanda,
Dr. R. Goris, bersama tim kepurbakalaan Musium Bali tahun 1977. Tiga prasasti
itu masing-masing diberi nomor 007 Angseri A, 508 Angseri B, dan 1009 Angseri
C. Dari bentuk dan huruf tulisan yang ditemukan, ketiga prasasti itu dibuat
tidak bersamaan. Prasasti 007 Angseri adalah kelompok tertua dari ketiga
prasasti yang ada. Namun semuanya memakai aksara Bali kuno yang sezaman dengan
prasasti di desa Gobleg, Ujung, dan beberapa prasasti Bali kuno lainnya.
Prasasti 508
Angseri 1009 Angseri dikeluarkan beberapa ratus tahun setelah prasasti 007
Angseri. Dalam prasasti 007 Angseri diuraikan masyarakat membangun tempat suci
yang disebut Hyang Api, yang berarti puser atau pucak pada zaman pemerintahan
Raja Ratu Sri Ugrasena tahun saka 837 / 915 M. Sedangkan prasasti 508 Angseri
dibuat pada zaman raja Sri Curadhipa
Isaka 1041 atau 1115 s.d 1119 M. Disebutkan prabu Sakti Wisnumurthi yang
diibaratkan seperti bulan dan matahari, memberikan sinar kepada semua yang ada.
Dalam prasasti ini juga disebutkan, Desa Sukhamerta ( sekarang “Angseri”)
dengan pengelingsir Kaki Hyang Tatdwanyana menghadap raja Sri Curadhipa terkait
tempat pertapaan di desa Sukhamerta pernah dijadikan tempat suci oleh Raja Sri
Aji Tagendra Warmadewa, yang memerintah tahun 955 s.d 967 M. Kalau prasasti
1009 Angseri keadaannya amat rusak, dan tidak bisa dibaca.
Berdasarkan ceritra
tokoh masyarakat, Pura Pucak Tinggah memiliki sejumlah kisah sejarah. Ketika
Rsi Markandya datang ke Bali pernah berstana di pura ini. Saat Ida Hyang Pasupati ke Bali juga pernah
berstana di pura ini. Kala itu Hyang Pasupati berstana di Pura Pucak Semeru
Agung, dibuktikan dengan adanya pelinggih persimpangan Pura Pucak Semeru Agung
di areal Pura Pucak Tinggah. Pura ini juga diyakini pertemuan antara Ida
Bhatara Wisnu dan Ida Bhatara Brahma, hal ini dibuktikan dengan adanya mata air
beraneka jenis di lokasi pura. Diantaranya mata air dingin, air suam kuku, air
asam, air belerang, air amis, dan air tawar.
Pura Pucak Tinggah juga perpaduan pengaruh zaman Rsi Markandya dan Mpu
Kuturan. Ini terlihat dari keberadaan Pura Tri Kahyangan dan Batur Jati. Pura Kahyangan Jagat Pucak Tinggah juga
berkaitan dengan Pura Pucak Beratan, Pucak Bukit Sangkur, Pura Tratai Bang,
Pura Pucak Batukaru, Pura Pucak Bukit
Adeng, Pura Pucak Padang Dawa, Pura Pucak Batu Lumbang, Pura Pucak Sarinadi,
dan Pura Penataran Dalem Peed, sebab saat Ida Ratu Gede Sakti Mas Macaling datang
ke Bali, beliau sempat berstana di Pura Kahyangan Jagat Pucak Tinggah. Pura
Kahyangan Jagat Pucak Tinggah berfungsi sebagai Pura Ulun Suwi, yang membawahi
subak Angseri, Tinungan, Kambangan, Senganan, Bunutin, Pemanis, Payangan, dan
Penyiwi Bakti meliputi Tabanan, Badung, Gianyar, Denpasar, Bangli, dan
Jemberana. Pura ini berfungsi untuk memohon kemakmuran dan peneduh jagat serta
tempat penyucian dan pasupati tapakan Ida Bhatara.----
No comments:
Post a Comment