Sumber >>
http://www.babadbali.com
Kompleks Pura Besakih di samping
sebagai tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam
berbagai aspek dan fungsinya, terdapat juga kompleks pemujaan para leluhur.
Leluhur yang dipuja itu adalah leluhur yang telah mencapai tahap Dewa Pitara.
Tempat pemujaan di empat penjuru Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat
pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan. Di timur Pura Gelap
sebagai tempat memuja Dewa Iswara. Di selatan Pura
Kiduling Kreteg sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma. Di barat Pura Hulun
Kulkul sebagai tempat pemujaan Dewa Mahadewa dan di utara Pura Batu
Madeg tempat pemujaan Dewa Wisnu.
Demikianlah berbagai manifestasi Tuhan yang
disebut Dewa atau Batara itu dipuja di berbagai kompleks pura di Besakih.
Sedangkan tempat pemujaan para leluhur di Besakih disebut Pura Padharman.
Fungsi pura memang ada dua yaitu Dewa Pratistha adalah pura untuk memuja Dewa
manifestasi Tuhan. Atma Pratistha pura untuk memuja roh suci leluhur. Di
Besakih juga demikian ada pura untuk memuja para Dewa dan ada pura untuk memuja
leluhur yang sudah mencapai tahap Dewa Pitara.
Pura Padharman adalah pura untuk memuja leluhur yang sudah suci yang disebut Dewa Pitara. Di Besakih ada banyak Pura Padharman. Salah satu adalah Pura Padharman Pasek. Di pura ini sebagai tempat pemujaan leluhur warga Pasek. Warga Pasek telah memiliki suatu lembaga bersama yang disebut Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Dengan lembaga yang cukup solid itulah Pura Padharman tersebut dikembangkan sehingga memiliki fungsi yang semakin luas sesuai dengan tuntutan zaman.
Memang pura bukanlah semata-mata sebagai tempat
sembahyang dan tempat menyelenggarakan upacara yadnya. Pura Padharman Pasek ini
sudah banyak dikembangkan dengan berbagai bangunan pelengkap, sehingga di Pura
Padharman Pasek ini dapat berfungsi sebagai pura untuk mengembangkan pendidikan
kerohanian baik untuk mendidik calon-calon pinandita maupun pandita.
Meskipun Pura Padharman Pasek ini sudah
sedemikian dikembangkan tetapi tidak mengurangi fungsi utamanya sebagai tempat
pemujaan Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru dan Mpu Kuturan. Bahkan dalam pengembangan
selanjutnya juga didirikan Pelinggih Pepelik sebagai Penyawangan Mpu Gana, Mpu
Beradah. Krena Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Beradah
adalah lima pandita bersaudara yang disebut Pandita Panca Tirtha.
Mpu Geni Jaya tempat pemujaan utama beliau di
Pura Lempuyang Madia sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Sanak Sapta Resi.
Sedangkan di Padharman sebagai pemujaan penyawangan. Pura Kawitan memang beda
dengan Pura Padharman. Pendirian Pura Padharman di Pura Besakih itu lebih
menekankan pada kebijaksanaan penguasa saat itu sebagai media untuk mendudukkan
berbagai kelompok warga di Bali dalam posisi setara dan bersaudara. Ini berarti
kebijaksanaan raja saat itu menerapkan ajaran agama sabda Tuhan menjadi sistem
religi menata sistem sosial untuk membangun dinamika sosial yang harmonis produktif.
Sepanjang pengetahuan, Pura Padharman di Besakih
tidak dibeda-bedakan. Maksudnya tidak ada Pura Padharman yang utama, madya dan
nista. Apalagi Pura Padharman Pasek sangat jelas yang dipuja di sana adalah
para pandita besar seperti Mpu Geni Jaya dengan saudara-saudara beliau Sang
Panca Pandita.
Di Pura Padharman Pasek, Mpu Geni Jaya dipuja di
Pelinggih Meru Tumpang Tiga (6), Mpu Semeru di Pelinggih Meru Tumpang Tujuh
(5). Sedangkan Mpu Kuturan di Pelinggih Manjangan Saluwang (3). Tentang
Palinggih Manjangan ini umumnya terdapat pada Merajan Gede keluarga Hindu di
Bali. Keberadaan Pura Padharman Pasek ini berdiri di sebelah kanan Pura
Panataran Agung Besakih.
Hal ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu raja
mendudukkan dengan setara Maha Gotra Sanak Sapta Resi di kerajaan di Bali.
Warga Pasek bukanlah warga keturunan Sudra. Warga Pasek adalah keturunan
Brahmana. Karena leluhur warga Pasek di Bali dari Mpu Geni Jaya yang menurunkan
Sapta Resi. Dari Sapta Resi inilah selanjutnya menurunkan Warga Pasek.
Dalam proses sejarah warga Pasek tidak lagi
memegang kekuasaan seperti menjadi raja maupun petinggi-petinggi kerajaan yang
lainnya. Karena tidak memegang jabatan maka gelar-gelar jabatan dalam kerajaan
pun tidak dipakainya sebagai sebutan di depan namanya. Umumnya warga Pasek
menggunakan sebutan Wayan, Made, Nyoman dan Ketut sebagai sebutan di depan
namanya.
Karena tidak berada dalam lingkar kekuasaan
kerajaan, warga Pasek disebut orang Jaba. Dalam kenyataannya yang disebut orang
Jaba tidak semata-mata dari warga Pasek, dari keturunan Arya dan warga-warga
lainnya seperti warga Pande Bujangga Waisnawa ada juga disebut orang Jaba. Yang
dimaksud Jaba itu adalah orang yang berada di luar jabatan kerajaan.
Banyak dari orang-orang yang disebut Jaba itu
karena tersingkir dalam ''permainan'' kekuasaan. Karena proses sejarah juga
lama-kelamaan orang Jaba itu diidentikkan dengan Sudra. Kesalahpahaman ini
terjadi karena permainan kekuasaan juga saat itu.
Keturunan Danghyang Dwijendra di Bali disebut
Brahmana. Danghyang Dwijendra sendiri adalah keturunan dari Mpu Beradah. Mpu
Geni Jaya, leluhur Maha Gotra Sanak Sapta Resi, itu adalah saudara dari Mpu
Beradah. Secara logika keturunan Mpu Geni Jaya pun sesungguhnya Brahmana
Wangsa. Tetapi faktanya dalam masyarakat tidak demikian. Itulah sejarah. Ke
depan sejarah seperti itu sebaliknya tidak terulang lagi di Bali. Jadikan
semuanya itu sebagai pelajaran saja untuk lebih jujur menjalankan sejarah.
No comments:
Post a Comment