Kini tersebutlah Danghyang Nirartha, seorang pendeta
utama datang ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama istri dan
putra-putranya, yakni: (1) Ida Ayu Swabawa, (2) Ida Kuluwan, (3) Ida Lor, (4)
Ida Wetan, (5) Ida Rai Istri, (6) Ida Tlaga, (7) Ida Nyoman Kaniten. Adapun
Danghyang Nirartha menaiki waluh kele / waluh pahit, istri dan putra-putranya
menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera sampai di Bali, istirahat di
bawah pohon ancak. Kemudian didirikan parhyangan bernama Pura Ancak. Ada
bisama/ putusannya kepada keturunannya, tidak boleh makan waluh selama-lamanya
Dikisahkan, perjalanan Danghyang Nirartha ke arah
timur, tiba-tiba bertemu dengan seekor naga yang mengangakan mulutnya bagaikan
goa. Masuklah beliau, ke mulut naga, dan di dalam ditemuinya telaga berisi
bunga tunjung sedang mekar di dalamnya, ada yang putih, merah dan hitam. Lalu
dipetik bunga-bunga itu.
Ketika beliau keluar dari perut naga, sirnalah naga
itu, wajah Danghyang Nirartha berubah-ubah dan menyeramkan, terkadang merah,
hitam, dan putih silih berganti. Itu sebabnya pucat istri dan para putranya
melihat sang rsi. Kemudian terlihat istrinya Sri Patni Kiniten demikian juga
putra-putranya. Tetapi Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam keadaan pingsan,
karena diperdaya oleh orang desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya
mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar bernama wong Sumedang berikut
desanya disirnakan. Demikian kisahnya.
Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong
Sumedang, berstana di Pura Melanting disembah sebagai Dewi Pasar. Ibunda beliau
Sri Patni Kaniten sirna di Pulaki menjadi Batari Dalem Pulaki. Demikian juga
putrinya yang bernama Ida Rai Istri, ketika mengikuti perjalanan Danghyang
Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung, disembah di Pura Griya Tanah
Kilap, Desa Suwung Badung, bergelar Batari Lingsir atau Betari Ratu Niyang
Sakti.
No comments:
Post a Comment