Bagi warga
Bali, kepeng/pis bolong juga masih memiliki nilai yang sama dengan rupiah atau
dollar, poundsterling, yen, mark, ringgit, dan berjenis duit modern lainnya.
Kepeng bisa dirupiahkan. Bahkan, beberapa jenis kepeng bernilai tukar lebih
mahal, sekitar 200-300 ribu rupiah per keping. Kepeng yang bergambar
tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna dan Bima serta gambar binatang seperti jaran
dan gajah, misalnya, dianggap memiliki tuah. Malah ada sejenis kepeng yang
disebut paica, yang dianggap sebagai anugerah kekuatan tertentu. Oleh karena
itu, masih banyak masyarakat Bali yang mempercayai hal itu. Koming, pun
merasakan derasnya perputaran uang kepeng itu, terutama pada bulan-bulan tertentu.
Keterkaitan masa lalu dengan masa kini, pada masyarakat Bali, sangat
kental. Masyarakat Bali yang beragama Hindu masih mengusung pola hidup yang
erat kaitannya dengan para leluhur. Kawitan merupakan istilah yang
digunakan sebagai sebutan tentang keterkaitan itu. Seorang warga Hindu Bali
dianggap tidak bisa lepas dari ikatan asal (wit, ane mula), baik dengan
leluhur maupun desa kelahiran. Oleh karena itu, pada setiap upacara besar,
orng-orang Bali yang beragama Hindu, yang telah tinggal di luar desa, juga di
luar Bali, harus pulang kampung untuk melaksanakan upacara di desa kawitannya.
Hal lain yang menunjukkan bahwa masyarakat Bali masih terkait dengn keberadaan
catatan masa lalu adalah pemanfaatan uang bolong (pis bolong, jinah bolong)
yang biasa disebut ke-peng, dalam aneka kegiatan upacara.
Uang bolong dimaksud adalah uang logam (terbuat dari bahan krawang
atau sejenis bahan pembuatan gamelan, kuningan, juga perunggu) yang memiliki
lubang pada bagian tengahnya. Lubang pada uang tersebut umumnya berbentuk segi
empat. Ada juga yang berbentuk bundar, segi enam sama sisi, juga segi banyak
tak beraturan. Orang Belanda menyebutnya Chinesche Duit atau juga Chinese
Coins.
Masyarakat Bali yang terkait dengan uang kepeng ini mengenal, paling tidak,
lima jenis pis bolong. Ada yang disebut pis lumrah (uang bolong yang
paling banyak ditemukan beredar), pis krinyah atau mas (berwarna
kuning), pis kuci atau jepun (berwarna hitam, diperkirakan dari
Jepang masa lalu), pis lembang (permukaannya rata), dan pis wadon
(wadon sangka, bermotif; wadon sari, biasa dipakai untuk
pelengkap sajen). Menurut aneka catatan, uang kepeng tersebut terdiri atas tiga
kelompok. Kelompok pertama disebut kepeng asli Cina atau Jepang, yaitu kepeng
yang berisi tulisan huruf kanji. Kedua, kepepng lokal Nusantara yang berhuruf
Jawa Kuno atau Dewanagari, berhuruf Arab, dan berhiasan bentuk wayang atau
flora lokal. Ketiga, kepeng “tiruan” buatan masa kini. Kepeng masa kini
berkualitas sangat rendah, mudah meleleh ketika terbakar api. Sedangkan kepeng
masa lalu, misalnya yang telah menjadi pelengkap upacara pembakaran jenazah (pelebon,
ngaben), uang tersebut masih bisa utuh, bisa digunakan lagi. Kepeng
Cina berisi tulisan huruf kanji Cina pada kedua bagian permukaannya (jou),
baik pada permukaan atas (mien atau sleh) maupun pada
permukaan bawah (pei atau trep). Lubangnya (hao) berbentuk
segi empat sama sisi. Pada bagian muka tertulis informasi (“legenda”) tentang
gelar kaisar Cina yang sedang memerintah. Tulisan tersebut mengisi bagian sleh,
mengelilingi hao, bagian atas, kanan, dan kiri. Tipografi dan hiasan tersebut,
seperti dicatat oleh Darmayendra (2000) dari sumber Balai Arkeologi Bali, cara
membacanya berurutan atas-kanan-bawah-kiri, atau bisa juga
atas-bawah-kanan-kiri.
Selanjutnya, disebutkan ada lima gaya tulisan yang ditemukan dalam kepeng
Cina: 1) zhuan shu (seal script style), gaya tulisan melengkung
menyerupai materai, yaitu gaya tulisan tertua yang dipakai pada masa Dinasi Sui
dan sebelumnya; 2) li shu (square plain script style), gaya
tulisan persegi; 3) kai shu (regular script style), gaya tulisan
baku; 4) xing shu (running script style), gaya tulisan sambung;
dan 5) cao shu (cursive script style), gaya tulisan miring. Bagian
trep berisi tulisan tentang nama tempat pembuatan uang kepeng tersebut.
Uang Nusantara Lama ukurannya lebih besar daripada uang Cina. Menurut
catatan yang ada pada Museum Bali, ditemukan uang kepeng yang bertuliskan pangeran
ratu dengan huruf Jawa Kuno (Dewanagari) yang diperkirakan dari Banten.
Lubang yang terdapat pada uang kepeng tersebut berbentuk segi enam beraturan.
Tulisan pada sleh disusun melingkari lubang. Pada bagian trep berisi
goresan-goresan yang kurang begitu jelas maknanya. Begitu pun pada uang kepeng
Palembang. Tulisannya, huruf Arab, disusun melingkari lubang yang bentuknya
membundar. Tulisan pada bagian sleh: Hadza Fulus fi Balad Palembang 1198.
Bagian trepnya polos tanpa tulisan apapun.
Tulisan-tulisan tersebut, kini, tidak menunjukkan harga satuan uang kepeng,
karena perhitungannya dalam transaksi adalah jumlah biji uang tersebut. Satu
biji uang kepeng disebut keteng, aketeng. Di pasar uang kepeng, misalnya
di Gianyar, masyarakat mengenal jumlah kepeng tertentu yang dijual secara ikatan.
Uang kepeng, untuk memudahkan pendistribusiannya, sekaligus juga berkaitan
dengan kepercayaan tertentu, diikat dengan benang tukelan untuk kepeng
yang jumlahnya 25 (selae keteng), diikat dengan tali tali bambu (200
biji, satak keteng), dan diikat dengan tali ampen, tali serat
(1.000 biji, siu keteng). Tetapi untuk satuan jumlah kepeng yang disebut
satak, jumlahnya dikurangi sebanyak 5 biji yang disebut long, dan satuan
siu keteng dikurangi 25 biji. Tentang pengurangan tersebut, ada yang
menyebutkan untuk mengurangi “pembengkakan hitungan (embet)” dalam
transaksi. Tetapi, alasan-alasan tentang masalah pengurangan tersebut belum
begitu jelas. Sidemen (1998) mencatat, model pengurangan seperti itu ditemukan
juga dalam perhitungan uang kepeng (satuannya disebut picis) di Jawa, setiap
pembayaran 1 puon (1.000 picis) selalu dikurangi 30 picis. Ngurah Nala
dan Adia Wiratmadja (1991) menjelaskan bahwa dalam setiap korban suci (yadnya)
di Bali dilengkapi dengan aneka simbol berupa sesajen. Sesajen tersebut
dibuat dari unsur tumbuh-tumbuhan, binatang, termasuk mineral. Uang kepang
dianggap memiliki unsur-unsur panca datu (lima jenis logam): emas,
perak, tembaga, besi, dan logam campuran. Kelima unsur tadi, menurut Sudana dan
Budiastra (1999) bertalian dengan konsep keseimbangan dunia dalam faham agama
Hindu. Emas di Barat, perak di Timur, tembaga di Selatan, dan besi di Utara.
Sedangkan di tengah-tengah adalah besi campuran. Semua itu dihubungkan dengan
posisi nama-nama dewa Mahadewa, Iswara, Brahma, Wisnu, dan Syiwa dalam
kepercayaan Hindu. Oleh karena itu, uang kepeng biasa dijadikan sebagai
pengganti unsur-unsur logam tersebut.
Uang kepeng digunakan sebagai salah satu pelengkap sesajen (persembahan)
dalam upacara. Panca yadnya adalah upacara yang terkait dengan
keberadaan kepeng tersebut, terdiri atas dewa yadnya, rsi yadnya, pitra
yadnya, manusa yadnya, dan butha yadnya. Pitra yadnya dan manusa
yadnya, terutama, yang banyak memerlukan kelengkapan kepeng. Karena rutinnya
upacara-upacara tersebut, pemakaian uang kepeng tidak pernah berhenti. Pada
bulan Juli – September, setiap tahun, pesanan uang kepeng meningkat keras. Pada
bulan-bulan tadi transaksi jual-beli uang kepeng di pasar tradisional Bali
menjadi masa paling ramai, bertalian dengan bulan upacara bagi masyarakat
Hindu.
Permintaan pasar tidak sebanding dengan ketersediaan kepeng. Apalagi
ketersediaan kepeng Cina, kepeng asli, sudah semakin berkurang. Kesulitan tadi
terkait juga dengan akar kreasi seniman Bali sendiri yang cenderung merambah
hal-hal yang baru yang bisa diuangkan. Bentuk gubahan patung yang bahannya dari
uang kepeng adalah salah satu yang terkait erat dengan hal tadi.
Kesulitan-kesulitan tersebut, kemudian, mendatangkan cara baru dalam
menaggulangi kekurangan uang kepeng. Kini, banyak kepeng baru, buatan baru,
yang “dianggap” bisa menutupi kebutuhan terhadap kepeng. Tetapi, banyak
masyarakat Hindu yang kemudian merasa kurang sempurna aktivitas upacaranya
ketika memakai kepeng buatan baru, karena kualitas uang baru itu lebih buruk
daripada uang yang asli. Kepeng baru, tampaknya, dibuat dengan perhitungan yang
sangat ekonomis, tidak tahan lama, agar produksi bisa tetap berjalan.
Kelangkaan kepeng asli, secara sejarah, juga pernah terkait dengan sikap
pemerintah Belanda yang ingin menghilangkan fungsi kepepng tersebut sebagai
uang pembayaran yang syah pada saat itu. Tetapi, keteguhan masyarakat Bali
dalam mempertahankan keberadaan kepeng sebagai sarana upacara, khususnya,
melunturkan keinginan Belanda, sehingga penggunaan kepeng dalam keseharian
masyarakat Bali saat itu tidak dipermasalahkan lagi. Bahkan, hingga kini,
kepeng tetap memiliki nilai khusus sebagai uang masa lalu yang berharga.
Harga uang kepeng, seperti diakui oleh salah seorang penjual kepeng di
Klungkung, cukup beragam. Jenis uang kepeng lama, uang berwarna emas Rp 800,00
perbiji, uang kuci yang berwarna hitam Rp 900,00 perbiji, dan uang lumrah Rp
500,00 perbiji. Jenis uang kepeng “baru” terdiri atas uang super (warna kuning)
Rp 20.000,00 per 200 biji, uang kuci Rp 15.000,00 per 200 biji, dan uang lumrah
Rp 12.000,00 per 200 biji.
PERWUJUDAN, JIMAT, DAN PERMAINAN
Penggunaan kepeng bisa ditemukan dalam berbagai bentuk benda upacara di
Bali. Benda-benda upacara seperti canang sari, penyugjug, sapsap, orti, banten
penyeneng, kewangen, adalah sajen dan sejenisnya yang dilengkapi kepeng.
Jumlah uang kepeng yang melengkapi benda-benda tersebut bermacam-macam. Menurut
pengakuan beberapa masyarakat Bali, pada sajen-sajen tertentu, uang kepeng
ada juga yang telah digantikan dengan uang logam recehan yang baru, uang
Indonesia masa kini.
Pada masyarakat Hindu di Bali ada kepercayaan tentang kekuatan tertentu
yang dilambangkan dengan bentuk tertentu pula. Arca perwujudan (praraga)
termasuk jenis patung perlambangan tersebut. Arca ini, umumnya, dibuat dari
bahan kayu cendana untuk bagian kepala dan “dalaman” tubuh patung. Pakaian
patung sepenuhnya dibentuk dari untai- an uang kepeng asli Cina. Patung jenis
ini biasa disebut patung Sri Sedana, yang konon, sebagai patung yang akan
membawa keberuntungan. Sri Sedana adalah lambang dewi kekayaan.
Sebuah patung Sri Sedana bisa menghabiskan 1.000 biji uang kepeng. Untuk pembuatan
patung Sri Sedana yang ditujukan sebagai alat pemujaan, menurut seorang
pembuatnya, bisa menghabiskan modal dasar sekitar Rp 4.000.000,00. Patung tadi
bisa dijual dengan harga antara 6 juta – 8 juta rupiah. Sedangkan “harga turis”
bisa lebih melambung, sekitar 40 juta rupiah. Sebuah harga yang cukup mahal.
Oleh karena itu, sejalan dengan permintaan pasar luar negeri, pembuatan patung
jenis ini terus berjalan. Hal itu berarti terus akan mengurangi ketersediaan
kepeng asli Cina. Kini, kepeng asli, menurut beberapa pelaku pasar, telah
didatangkan dari Lombok dan Jawa. Dan, pis kuci, pis jepun yang berwarna hitam
jika dipakai membuat patung Sri Sedana, akan medatangkan kekuatan tertentu,
yang disebut taksu.
Uang kepeng, di antaranya dianggap menyimpan kekuatan yang bisa dipakai
sebagai jimat. Jenis kepeng yang disebut kepeng paica adalah salah satu
di antara yang dianggap sebagai jimat. Kepeng ini bisa dimiliki oleh
seseorang melalui kegiatan semedi, sebagai anugerah dari kekuatan
tertentu kepada orang khusus. Tentu saja, jenis uang kepeng ini tidak pernah
bisa dilihat oleh orang lain yang bukan pemiliknya. Ada kepercayaan, kalau uang
paica ini diperlhatkan kepada orang yang bukan haknya, kekuatan yang dikandung
dalam uang paica itu akan berkurang, atau malah akan
hilang.
Di samping kepeng paica, ada juga kepeng pretima dan kepeng rerajahan.
Jenis kepeng pretima biasanya disimpan di tempat yang dianggap suci. Kepeng
yang dipakai untuk membuat pretima adalah kepeng lumrah. Setelah digubah
menjadi tiruan bentuk manusia, binatang, bidang segitiga, atau bidang segi
empat, kemudian diupacarai, jenis kepeng ini selanjutnya dianggap memiliki
nilai sakral. Sedangkan kepeng rerajahan adalah jenis kepeng yang bergambar
tokoh-tokoh pewayangan tertentu atau binatang tertentu yang kemudian dijadikan
perlambangan.
Kepeng rerajahan dengan gambar Arjuna, konon, memiliki fungsi sebagai
pengasih-asihan. Kepeng Bima untuk kedigjayaan. Kepeng jaran untuk kecepatan.
Kepeng gajah untuk kekuatan. Masih banyak lagi jenis rerajahan yang dibuat oleh
paranormal di atas uang kepeng, sesuai fungsi masing-masing. Para wanita Bali
yang memiliki kepercayaan terhadap jimat, suka menyimpan kepeng rerajahan
bergambar bulan. Pis bulan, sebutan untuk kepeng rerajahan ini, kata sementara
orang, berfungsi sebagai pengikat para suami supaya tetap menyayangi istrinya.
Tentang kebenaran fungsi-fungsi tersebut, tentu, sulit dibuktikan secara nyata.
Tetapi, begitu banyak orang yang percaya tentang hal itu.
Masyarakat Bali memiliki sejumlah bentuk permainan yang melibatkan
penggunaan uang kepeng. Permainan tersebut ada yang hanya melibatkan kaum
lelaki dewasa saja, ada juga yang bisa dimainkan oleh masyarakat umum. Bentuk
permainan, kemudian, banyak yang mengarah ke perjudian. Plinceran, makeles, dan
metogtog, adalah nama jenis permainan tersebut.
Kreativitas seniman Bali tidak pernah berhenti. Uang kepeng, selain
dimanfaatkan untuk keperluan melengkapi benda upacara dan permainan, ada juga
yang dibuat untuk menghiasi tempat tertentu. Hiasan, dalam hal ini, adalah
hiasan yang dikaitkan dengan tempat suci umat Hindu dan juga hiasan “modern” yang
merupakan garapan seniman masa kini.
Begitu banyak keterkaitan masyarakat Hindu di Bali dengan uang kepeng.
Untuk menghias bangunan profan, baik yang tradisional maupun modern, para
seniman Bali membuat tiruan uang kepeng dalam ukuran yang amat besar. Ukuran
tiruan uang tersebut sekitar 50 kali besar uang kepeng sebenarnya. Bahan
yang digunakan untuk membuat tiruan kepeng tersebut antara lain adalah bahan
tanah liat, kayu, dan kuningan. Jenis hiasan seperti ini bisa kita temukan di
warung-warung seni di sekitar Ubud. Hiasan ini biasanya digantungkan di dinding
rumah atau sebagai penghias pintu gerbang.
Kefanatikan sebagian masyarakat Bali terhadap uang kepeng, terutama yang
masih tampak pada kaum tua adalah kebanggaan mereka memiliki jumlah uang kepeng
yang banyak. Ada orang tua yang terkagum-kagum ketika mendengar seseorang
memiliki jumlah kepeng yang banyak, tetapi tidak peduli ketika mendengar orang
lain memiliki uang jutaan rupiah, misalnya. Dan, setiap warga masyarakat Bali
yang beragama Hindu, bisa dipastikan memiliki jumlah uang kepeng tertentu di
rumahnya sebagai sarana upacara rutin mereka. Di samping uang kepeng dipakai
sebagai sarana hukum adat pada sejumlah desa adat di Bali, yang mengharuskan
warganya yang terkena sanksi adat, harus membayar denda dengan 1.000 biji uang
kepeng. Sanksi seperti tersebut, bahkan telah menjadi imbauan Majelis Pembina
Lembaga Adat (MPLA) Bali, kepada semua desa adat, agar memberlakukan sanksi
semacam itu kepada warga yang melanggar ketentuan adat. Mengapa dengan uang
kepeng? Jawabannya, “itulah keputusannya”. Paling tidak, lembaga adat tersebut
menunjukkan bahwa uang kepeng memiliki nilai tinggi, sulit didapatkan, dan akan
menjadi beban berat bagi yang terkena sanksi.!
Sumber
>> http://uang-kepengkuno.blogspot.com
Di
tanah Bali Uang Kepeng/ Pis Bolong itu punya ceritra ;
Pemakaian mata ”Uang Kepeng” atau 'pis bolong' mulai diperkenalkan
dan diberlakukan di Bali, yaitu semasa pemerintahan raja Balingkang, Sri Detya
Jaya Pangus Harkajalancana, yaitu pada tahun 1181 - 1269 Masehi. Kerajaan
Balingkang yang berlokasi di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli, statusnya kini telah berubah menjadi Pura Dalem Balingkang.
Di dalam Babad (sastra sejarah) diceritakan, ketika permaisuri Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujakencana wafat, raja Sri Detya Jaya Pangus merasa amat kesepian. Beliau kemudian melamar pelayannya Mpu Liem, yang bernama Kang Cing Wie, untuk dijadikan permaisuri. Kang Cing Wie merupakan putri tuan Subandar dari Negeri China, yang menyertai Mpu Liem ke Bali. Kedatangan Mpu Liem disertai putrinya berparas cantik, bernama ”Dewi Kwan Im”. Sebelum lamaran Sang Raja diterima, Kang Cing Wie mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya adalah ; agar uang kepeng atau ”pis bolong” selalu digunakan dalam setiap upacara ritual di Bali, serta melanjutkan pembinaan ajaran agama Budha Mahayana.
Balingkang sendiri berasal dari kata ; ”Bali” dan ”Ing Kang”, yang mengingatkan pada permaisuri raja Sri Detya Jaya Pangus, yaitu ; Kang Cing Wie,
Di dalam Babad (sastra sejarah) diceritakan, ketika permaisuri Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujakencana wafat, raja Sri Detya Jaya Pangus merasa amat kesepian. Beliau kemudian melamar pelayannya Mpu Liem, yang bernama Kang Cing Wie, untuk dijadikan permaisuri. Kang Cing Wie merupakan putri tuan Subandar dari Negeri China, yang menyertai Mpu Liem ke Bali. Kedatangan Mpu Liem disertai putrinya berparas cantik, bernama ”Dewi Kwan Im”. Sebelum lamaran Sang Raja diterima, Kang Cing Wie mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya adalah ; agar uang kepeng atau ”pis bolong” selalu digunakan dalam setiap upacara ritual di Bali, serta melanjutkan pembinaan ajaran agama Budha Mahayana.
Balingkang sendiri berasal dari kata ; ”Bali” dan ”Ing Kang”, yang mengingatkan pada permaisuri raja Sri Detya Jaya Pangus, yaitu ; Kang Cing Wie,
No comments:
Post a Comment