Saturday, August 11, 2012

Subak Tradisi Petani Bali Mencintai Alam


 Doni (9) dari Yogyakarta dan Chyntia (13) dari Kediri, Jawa Timur, amat gembira saat turut serta memanen padi di sepetak sawah milik Grace M Tarjoto. Grace adalah perintis pertanian modern di Gunungsari, Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. 
Dengan memakai caping, kedua anak itu turun ke sawah yang dipenuhi tanaman padi siap panen. Mereka datang bersama ratusan anak dan remaja dari sejumlah kota di Indonesia. Mereka tak hanya belajar memotong padi dengan ani-ani, tetapi juga mengikat batang padi hasil panen. Mereka belajar dari petani setempat mengenai harmonisasi hubungan petani, alam, dan Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan. Mereka juga mengenal sanggah pecatu di sawah, tempat prosesi persembahan sesaji.
Tanaman padi yang subur di Jatiluwih dipilih sebagai lokasi pengenalan sistem subak yang begitu terkenal di Bali. Kegiatan itu bertajuk World Heritage Education yang diikuti lebih dari 200 anak dan remaja, dimotori English First Indonesia serta Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) perwakilan Jakarta, pekan lalu.
Kegiatan itu seperti pembuka rangkaian sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di Saint Petersburg, Rusia, akhir pekan lalu. Dalam sidang itu, subak ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia. Menurut Wayan Windia, Ketua Grup Riset Sistem Subak Universitas Udayana (Unand), Bali, Senin (2/7), penetapan subak menjadi Situs Warisan Dunia memberikan citra baik untuk Bali sebagai pemilik lanskap budaya itu. Seiring dengan pengakuan dunia itu, pelestarian subak menjadi hal penting.

Tri Hita Karana
 
Kepala Unit Budaya Kantor UNESCO Jakarta Masanori Nagaoka mengemukakan, pelestarian subak sebagai lanskap budaya Bali tergantung upaya petani di Bali. Apalagi, subak memiliki kekuatan doktrin kosmologis yang unik, Tri Hita Karana. Warga Bali pun berjanji kepada dunia untuk melestarikan sistem subak kepada generasi penerus. ”Filosofi Tri Hita Karana atau tiga unsur sumber kebaikan adalah konsep hidup yang penting untuk diperkenalkan terus kepada generasi muda,” kata Masanori.
Ajakan kepada ratusan anak dan remaja dari sejumlah daerah untuk melihat subak adalah bagian dari pewarisan itu.
Dosen Unand, Wiwik Dharmiasih, menambahkan, subak adalah organisasi khusus warga yang mengatur sistem pengairan sawah untuk bercocok tanam di Bali. Dalam sistem ini, biasanya ada pura, yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun bagi dewa kemakmuran dan kesuburan, Dewi Danu atau Dewi Sri. Walau spiritualitas masih kuat di Bali, pelestarian subak tetap menjadi tantangan.
Ketua Dewan Harian Pelestarian Warisan Budaya Bali I Wayan Alit Arthawiguna menambahkan, tiga matra Tri Hita Karana tak bisa dipisahkan. Jika satu berubah, harmoni dan kebersamaan akan terganggu.
Tiga matra itu terdiri dari pemujaan terhadap dewa (parahyangan), yakni setiap area sawah terdapat Pura Bedugul, pura untuk menunjukkan rasa terima kasih petani atas anugerah kesuburan kepada Dewi Sri. Ada unsur hubungan sesama manusia dalam wujud pawongan (perumahan). Setiap manusia harus percaya kepada sesama.
”Unsur ketiga, hubungan manusia dengan alam, yaitu tanah, alam, lingkungan, dan bumi sekitar. Subak mempunyai wilayah sawah yang berbatasan dengan sungai, jalan, pematang, dan alam yang harus dijaga bersama,” kata Arthawiguna.
Karena itu, penetapan subak sebagai Situs Warisan Dunia amat berarti guna mendorong pemerintah untuk turut melestarikan sistem itu. Petani membutuhkan perlindungan, peningkatan hasil panen, dan pelestarian lahan karena industri pariwisata di Bali berkembang.
Sawah irigasi teknis di tepi jalan, apalagi dekat vila, adalah lokasi yang mahal. Pajak lahan itu bisa mencapai Rp 7 juta per tahun, jumlah yang tidak sebanding dengan hasil panen padi petani. Apabila tak terlindungi, petani bisa tergiur untuk menyerahkan lahannya ke usaha non-pertanian lain.
Berarti ”suwak”
Menyaksikan lanskap budaya subak di Jatiluwih, sekitar 25 kilometer dari Tabanan, pengunjung akan menemukan penerapan doktrin kosmologis Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari warganya. Desa yang didiami 2.782 jiwa di kaki Gunung Batukaru itu memiliki tujuh subak, yang setiap kelompok beranggotakan 50-70 petani.
Persawahan berbentuk terasering melindungi lereng gunung dari erosi. Aliran air dari irigasi yang dibangun begitu jernih. Ikan berenang dan batu di dasar saluran dapat tertangkap pandangan mata karena tak terhalang keruhnya air.
Tokoh masyarakat adat Jatiluwih, I Gede Suweden, menambahkan, subak sebagai sistem irigasi diyakini sudah dikenal di Bali antara tahun 1071 dan 1150. Istilah ”subak” berasal dari kata suwak, yang berarti pengaturan air persawahan secara baik. Subak juga mengenal sanksi adat bagi petani yang melanggar, mencuri air, atau tidak taat pada musim tanam.
Filosofi Tri Hita Karana pun taat dijalankan petani dalam setiap tahapan menanam padi. ”Ritual dimulai sejak mengalirkan air ke petak sawah dengan ngendagin. Upacara ngawiwit atau ngurit digelar saat petani menabur benih di persemaian. Saat menanam diadakan upacara mamula atau newasen,” ujar Suweden. Ketika tanaman padi berusia satu bulan, ada upacara neduh untuk menolak hama. Saat padi mulai bunting, digelar ritual biukukung. Saat akan melakukan panen, petani menyelenggarakan upacara nyangket.
Kepala Desa Jatiluwih I Nengah Wirata mengakui, pengakuan UNESCO atas subak penting untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani di Bali. (COK)





No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini