Wednesday, August 22, 2012

Mahesa Jenar (tokoh)


Mahesa Jenar dikenal pula sebagai Senapati Rangga Tohjaya. Gelar itu didapatnya saat masih menjabat sebagai salah satu prajurit pilihan di Kerajaan Demak. Mahesa Jenar berasal dari Kadipaten Pandan Arang (Semarang). Dia adalah murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh alias Pangeran Handayaningrat, putra dari Prabu Brawijaya kelima. Saudara seperguruannya adalah Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga adalah putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh. Di dalam perantauannya, Mahesa Jenar juga dikenal sebagai Manahan. Nama itu dipakainya saat melarikan diri dari kejaran laskar banyubiru demi menyelamatkan Arya Salaka, putra sahabatnya, Ki Ageng Gajah Sora.
Masa kecilnya dilalui sebagai teman bermain "Nis" yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Sela Enom. Nis Sela atau yang dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Ngenis adalah putra dari Ki Ageng Sela Sepuh.
Legenda mengatakan bahwa Ki Ageng Sela Sepuh (yang tinggal di daerah Sela, Boyolali, Jawa Tengah) memunyai kelincahan yang luar biasa sehingga mampu menangkap petir. Dan kemampuan ini menurun pada anaknya (Nis Sela)

Mahesa Jenar dikenal dengan sikapnya yang jantan dan ksatria. Dia adalah tipikal prajurit yang berjuang tanpa berharap imbalan. Begitu gigihnya dalam perjuangan, Mahesa Jenar sampai kadang melupakan kepentingan pribadinya. Mahesa Jenar juga tipe pria yang keras hati dan kadangkala dianggap kaku oleh kaum perempuan. Kekakuannya itu sebenarnya adalah cerminan dari ketulusan jiwanya dan kerelaannya berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar. Termasuk jika dia harus mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan orang yang dicintainya. Sikapnya yang demikian juga karena kecanggungannya jika berhadapan dengan wanita sehingga membuatnya bisa bersikap tidak wajar. Peristiwa yang melibatkan dirinya dengan Nyai Wirasaba menunjukkan betapa Mahesa jenar kurang peka dalam menyelami perasaan seorang wanita.
Dalam perjalanannya, suatu hari di Hutan Tambak Baya, dirinya menolong seorang gadis cantik bernama Dewi Rara Wilis dari cengkeraman penjahat yang menamakan dirinya Jaka Soka dan Lawa Ijo setelah melalui pertempuran sengit dan nyaris tewas oleh kekuatan pusaka Lawa Ijo. Dari situlah Mahesa Jenar kemudian menaruh bibit cinta pada Rara Wilis. Rara Wilispun ternyata membalas cintanya, meskipun kemudian Mahesa Jenar berusaha meninggalkannya karena tahu dirinya tidak bisa memberikan apa-apa pada gadis yang sangat dicintainya itu. Hal itu dilakukannya setelah mengetahui saudara perguruan Rara Wilis, Demang Sarayuda yang kaya raya juga mencintai Rara Wilis. Tidak diketahui apakah sikap Mahesa Jenar yang demikian itu benar-benar keluar dari dasar hatinya ataukah sekedar akibat kecemburuan sesaat. Beruntung kemudian Mahesa Jenar mendapat nasihat dari Ki Ageng Pandan Alas, kakek sekaligus guru dari Rara Wilis.
Dalam perantauannya, Mahesa Jenar bersahabat dengan Ki Ageng Gajah Sora dari Banyubiru. Ki Ageng Gajah Sora adalah putra sekaligus murid dari Ki Ageng Sora Dipayana yang juga adalah sahabat gurunya. Uniknya, sebelum saling menyadari, keduanya terlibat pertarungan dahsyat yang nyaris merenggut nyawa mereka berdua. Persahabatan mereka berdua pula yang membawa Mahesa Jenar terlibat perang saudara di Banyubiru dan akhirnya harus melarikan diri setelah Ki Ageng Gajah Sora difitnah telah mencuri keris Nagasasra dan Sabukinten. Dalam pelariannya itu, dia membawa putra Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka yang belakangan diangkatnya sebagai anak dan murid. Secara tidak diduga, dalam pelariannya selama hampir lima tahun itu, dia bertemu dengan paman gurunya Ki Kebo Kanigara saudara seperguruan sekaligus anak tertua Ki Ageng Pengging Sepuh , yang memiliki kesaktian jauh lebih dahsyat dari gurunya sendiri. Dan lewat bimbingan dari Kebo Kanigara pulalah Mahesa Jenar akhirnya bisa melewati batas kemampuan ilmunya sendiri yang membuat ilmunya meningkat berlipat-lipat hingga diapun juga berhasil melampaui kesaktian gurunya.

Mahesa Jenar menguasai Ilmu Sasra Birawa dari perguruan Pengging dengan baik. Sebelum mendapat bimbingan dari Ki Kebo Kanigara, ilmunya masih belum seberapa, hanya setingkat lebih tinggi dari kesaktian para pendekar level menengah seperti Mantingan, Wirasaba, Jaka Soka atau Lawa Ijo. tapi setelah menggembleng diri di bawah bimbingan Ki Kebo Kanigara, ilmunya meningkat tajam, bahkan jika harus melawan para sesepuh dunia persilatan sekalipun Mahesa Jenar tidak akan kalah Sehingga Mahesa Jenar kemudian disebut sebagai titisan dari Almarhum Pangeran Handayaningrat sendiri. Bahkan oleh sebagian kalangan tua, Mahesa Jenar dipandang lebih hebat dari gurunya tersebut.
Tata Gerak yang diperagakan oleh Mahesa Jenar selain murni dari tata gerak perguruan Pengging, juga dikembangkan dengan kemampuannya menirukan gerak binatang di alam liar, sehingga perkembangan gerakan Perguruan Pengging menjadi semakin bervariasi. Mahesa Jenar kerap disebut memiliki kelincahan seekor kijang dengan tenaga seekor banteng. Dia juga bisa menggunakan berbagai macam senjata dengan baik berkat latihannya sebagai prajurit, segala benda yang ada di tangannya bisa digunakan sebagai senjata yang mematikan.
Mahesa Jenar juga gemar mengamati setiap tata gerak dari setiap lawannya membuatnya mampu membaca setiap gerakan lawannya. Ki Kebo Kanigara menyebutnya bertarung dengan kecerdasan. Tidak salah jika disebut demikian karena Mahesa Jenar selain jeli juga memiliki otak yang cemerlang. Kecerdasannya dibuktikan saat mengungkap teka-teki keberadaan tokoh misterius bernama Pasingsingan, bahkan dia berhasil pula menghubungkan keberadan Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya, sesepuh Padepokan Karang Tumaritis, yang sejatinya adalah guru dari seluruh Pasingsingan yang ada. Berkat kecerdasannya pula dia berhasil menyempurnakan ilmu Sasrabirawa tidak hanya sebagai ilmu untuk menyerang, tapi juga bisa berfungsi sebagai pertahanan. Pasingsingan yang bernama Umbaran pernah merasakan bagaimana ilmunya berhasil dipatahkan dengan perlindungan Sasrabirawa yang disempurnakan oleh Mahesa jenar.
Mahesa Jenar juga kebal racun karena di dalam darahnya mengalir bisa ular Gundala Seta yang terkenal mampu menetralisir segala macam racun. Bisa ular Gundala Seta tersebut diperolehnya dari Ki Ageng Sela. Kemampuannya dibuktikan saat mengobati kaki Wirasaba, salah satu sahabatnya yang disebut juga sebagai Seruling Gading. Dan sekali lagi saat memunahkan racun dari pusaka Lawa Ijo yang dikenal dengan sebutan Akik Kelabang Sayuta.





Sebuah kepercayaan, siapapun yang mampu dan mnguasai Keris Nagasasra Sabuk Inten kan benar-benar terhormat di dunia persilatan, baik golongan hitam maupun putih.  Itulah sebabnya, sipat kandel keraton Demak Bintoro menjadi incaran dan akhirnya hilang.  Itulah yang menjadi pemicu seorang perwira senior Keraton Demak keluar dari keraton dengan menanggalkan semua kemewahan dan kekuasaan kareraton sebagai Raden Rangga Tahjaya menjadi seorang sudra bernama Mahesa Jenar.
Perjalanan Mahesa Jenar dimulai dari Gunung Ijo ke  Rawa Pening dan saat ini berhenti di lereng Gunung Wilis.  Disinilah Pusaka sakti itu diduga berada.  Banyak informasi yang diterima oleh lelaki gagah yang berpakaian serba hijau ini mengarah ke tempat ini.  Naluri intejleennya tak bisa ditipu.  Maka segera dia mengendus tempat ini untuk melacak keberadaan keris simbol Demak Bintara ini.
Ki Demang Simarodra tengah dilanda kegembiraan luar biasa karena berhasil mencuri Keris Nagasasara Sabuk Inten.  Bersama isterinya, Simorodra tengah merayakan kenahagiaan itu sampai ketika Sekayon, abdinya melaporkan telah mencurigai seseorang yang memasuki walayahnya menuju ke tempat penyimpanan Keris sakti yang jadi rebutan, Nagasasra Sabukinten.
Benar saja, Gemak Paron dan  Yuyurumpung , orang suruhan Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening telah memasuki Gudang Pusaka.  Dengan senjata sumpitnya, Nyi Simorodra berhasil merobohkan Gemak Paron.  Sayangnya, pemburuan Simorodra memasuki wilayah Pengarantunan Wetan tempat Kekuasaan Ki Ageng Lembu Sora, anak lelaki Ki Ageng Soradipayana.  Meskipun Pangrantunan Wetan sudah digadaikan kepada Simorodra, tetapi beberapa wilayah masih tetap menjadi kekuasaan  Ki Ageng Lembu Sora.  Inilah yang menjadikan penguasa Pangrantunan Wetab ini marah.
Mata dan nalurinya yang terlatih, membuat Mahesa Jenar bisa menduga apa yang terjadi ditempat ini beberapa waktu yang lalu.  Mayat Demak Paron masih tergeletak dengan luka bekas sumpit Nyai Simorodra.  Dia juga tahu, bahwa yang dicuri oleh orang ini bersama temannya bukanlah Keris Nagasasra Sabuk Inten.
Yuyu Rumpung kembali keempat tebunuhnya Gemak paron.  Disana dia bertemu dengan Mahesa Jenar.  Kecurigaannya pada lelaki berbaju hijau ini menjadikannnya marah dan menantang berkelahi.  Gemak Paron tidak mampu mengalahkan kesaktian Mahesa Jenar.  Dia harus meninggalkan kudanya dan terpaksa berlari untuk pulang ke Rawa Pening.  Mahesa Jenar perlu mengambil langkah ini agar utusan Uling Kuning ini tidak bisa segera melaporkan hasil penyusupannya ke Gunung Tidar.  Harapannya dia bisa menyusun rencana lebih lanjut.
Rencana apakah yang dibuat oleh Mahesa Jenar?  Bagaimanakah Nasib Yuyurumpung setelah seharian berlari dari Gunung Tidar ke Rawa Pening? Tindakan apa yang diambil oleh Ki Ageng Lembu Sora akibat kecerobohan yang dilakukan Simarodra yang telah memasuki wailayahnya.

Sumber  >>  http://jamansemana.com











No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini